Samar Gantang (dua dari kiri) dan Taufiq Ismail (bertopi)SEJAK menjadi guru di beberapa sekolah menengah pertama (SMP) swasta di Tabanan tahun 1973, Samar Gantang mengajar mata pelajaran seni lukis. Bahkan setelah meraih gelar sarjana sastra dari IKIP Saraswati Tabanan tahun 1997, dia yang sejak dulu dikenal sebagai seniman sastra tidak pernah menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia. “Sudah ada banyak guru bahasa dan sastra, makanya saya tetap mengajar seni lukis,” kata ayah empat anak yang juga pernah menjadi pemain drama gong ini.

Cita-cita Samar Gantang sebetulnya menjadi bintang film. Tahun 1970-an dia sempat bersekolah di Jakarta, tetapi tiba-tiba disuruh pulang, katanya ibunya sakit keras. Setelah pulang, wanita yang melahirkannya ternyata sehat. Akhirnya dia menetap di Bali dan melupakan cita-cita menjadi bintang film.

Samar Gantang yang gemar melukis memilih bekerja menjadi guru seni lukis, sementara minatnya di bidang seni pentas dialihkan ke dunia baca puisi. Untuk kegiatan ekstrakurikuler, Samar Gantang justru membina kegiatan sastra dan drama di berbagai SMP/SMA Tabanan.

Samar Gantang sangat aktif di Lesiba (Lembaga Seniman Indonesia Bali) pimpinan dosen sastra Indonesia Unud, Drs. I Made Sukada, S.U. Kegiatan utama Lesiba adalah melaksanakan apresiasi sastra, seperti membaca puisi di radio-radio, dan menerbitkan buku sastra, kebanyakan kumpulan puisi. Samar Gantang dikenal sebagai pembaca puisi nyentrik, baik di radio maupun di panggung. Penampilannya total, penuh gerak-gerik, percaya diri sehingga tampak lain dari yang lain. Kalau dia membaca puisi modre, jenis puisi dengan pengaruh mantra Bali, Samar Gantang kerap tampil seperti orang kesurupan, memukau dan menimbulkan kesan ngeri. Gayanya mengingatkan orang pada style penyair Sutardji Calzoum Bachri yang membaca puisi seperti orang mabuk. “Suara Sutardji kini sudah pecah, parau, tak menarik lagi. Sedangkan saya masih bisa bertahan,” kata Samar Gantang percaya diri. Dia juga mengkritik Rendra yang dulu dikaguminya tapi kini “tak ada apa-apanya” setelah lanjut usia.

Gaya Samar Gantang membaca puisi inilah yang kemudian memikat penyair Taufiq Ismail, lalu dia dipilih menjadi anggota tim penyusunan buku pelajaran sastra untuk sekolah tahun 2002/2003 ini. Kisahnya, pada 1999, Sanggar Dewata mengundang Samar Gantang mengisi acara pada performing arts di Galeri Nasional di Jakarta. Dia tampil membaca puisi dan kebetulan Taufiq Ismail menonton. Terkesan akan gaya Samar Gantang baca puisi, Taufiq mendekati dan menyarankannya untuk mengikuti kegiatan MMAS (membaca menulis apresiasi sastra) seluruh Indonesia yang akan digelar di Mataram. Acara ini dikhususkan untuk guru-guru.

Samar Gantang mengikuti acara MMAS bersama 29 guru dari Bali. Kegiatannya antara lain membaca sastra, menulis puisi, membuat deskripsi. “Pokoknya guru didorong berapresiasi. Saya sudah biasa di lapangan, sudah biasa menulis dan baca puisi, jadi tenang saja,” ujar Samar Gantang bangga.

Dalam acara tersebut Samar Gantang mendapat juara pertama. Acara MMAS dilanjutkan di Jakarta dan Bogor, sementara guru dari Bali yang lolos adalah 19 orang, lalu dalam seleksi berikutnya 7 orang, dan tahun 2002 yang lolos hanya Samar Gantang dari utusan Bali. “Dari sanalah, akhirnya saya dipilih sebagai wakil dari guru sekolah untuk duduk dalam tim penyusunan buku sastra untuk siswa sekolah se-Indonesia,” katanya.

Anggota tim berjumlah 35 orang, antara lain Sapardi Djoko Damono, Zaini KM, Jakob Sumarjo. “Hanya saya yang mewakili guru bahasa Indonesia, anggota lainnya dosen-dosen,” kata Samar Gantang lagi. Selama bekerja, tim membaca 500 judul buku, dipilih mana yang cocok untuk SMP dan mana yang cocok untuk SMA. “Karya yang klasik dipilih untuk bacaan SMP, sedangkan yang abstrak dan absurd dipilih untuk materi pelajaran SMA,” katanya. Minggu lalu tim selesai menyusun buku. Jika kelak bukunya terbit, nama Samar Gantang akan tertera di dalamnya sebagai tim penyusun. Selama bekerja, Samar Gantang mengaku berusaha memperjuangkan sastrawan Bali agar karyanya dimasukkan dalam materi pelajaran sastra. “Kalau Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka Rusmini sudah jelas masuk. Saya perjuangkan karya Ngurah Parsua dan Tusthi Eddy, sayang anggota tim lainnya tidak menerima usulan saya,” katanya agak kecewa, tapi menerima kenyataan. Lebih dari itu, dia bangga minatnya pada sastra Indonesia memberikannya kesempatan untuk menjadi tim penyusun buku pelajaran tingkat nasional.

Beberapa tahun terakhir ini, hubungan Samar Gantang dengan sastrawan Pusat seperti Taufiq Ismail, Ayu Utami, Sapardi kian akrab saja. Samar Gantang diikutkan dalam kegiatan “siswa bertanya sastrawan menjawab” yang dipimpin Taufiq Ismail, khusus dalam kegiatannya yang digelar di Bali.

Rumahnya di Tabanan menjadi perpustakaan yang menerima sumbangan buku sastra terbitan Horison dan rutin menerima secara gratis majalah sastra Horison. Samar Gantang dinilai aktif membina sastra untuk kalangan siswa. Kenyataan bahwa tahun 2003 ini Samar Gantang dianugerahi hadiah Sastra Rancage atas jasanya membina sastra Bali modern antara lain setelah menerbitkan lima buku dalam dua tahun terakhir, menunjukkan bahwa Samar Gantang tak hanya aktif dalam sastra Indonesia tetapi juga dalam sastra Bali.

* Darma Putra

sumber: http://www.balipost.com/balipostcetak/2003/2/16/pot2.html