I Gusti Putu Bawa Samar Gantang adalah salah satu penerima penghargaan Rancage 2003. Pengarang ini tekun dan aktif menulis sastra Bali modern sejak 1970-an. Karya-karya cerpen dan sajaknya banyak menawarkan kemungkinan baru. Sampai detik ini, di samping jadi guru sastra Indonesia, ia aktif memimpin sanggar-sanggar seni dan sastra di Tabanan, memperkenalkan dan mendorong generasi muda untuk mengapresiasi, mencintai dan menulis dalam bahasa Bali modern. Berikut petikan komentar pengarang asal Tabanan ini.

ANDA dianugerahi hadiah Sastra Rancage tahun 2003 atas jasa membina sastra Bali modern. Bagaimana perasaan Anda?

Saya merasa masih ada yang lain di masyarakat yang rasanya lebih ulet dalam pembinaan bahasa dan sastra Bali. Ini kan kebetulan, karena kita hobi menulis. Selain itu kalau kita lihat yang lain, rasanya wajar saja. Saya ingin yang lain yang lebih dulu menulis perlu diperhatikan juga, seperti Tusthi Eddy dan Ngurah Parsua. (Ngurah Parsua menulis sastra Indonesia, sedangkan Rancage adalah hadiah untuk sastra daerah, red).

Anda lebih dikenal sebagai sastrawan Indonesia. Sejak kapan Anda sebetulnya menekuni sastra Bali modern?

Sebetulnya sastra Bali modern sudah saya tekuni sejak saya sekolah di SMA, tahun 1968. Saya memulainya dengan menekuni sastra Jawa Kuna. Guru sekolah yang membimbing saya adalah Pak Gerundung, asal Tuakilang. Atas bimbingannya, saya ikut makakawin.

Itu kan sastra Jawa Kuna, kalau sastra Bali modern mulai kapan?

Saya sudah mulai menulis sastra Bali waktu itu juga, yaitu awal hingga akhir 1970-an. Tetapi karya-karya itu tidak saya kirim karena tidak ada media. Karya-karya itu saya simpan saja. Hanya sekali-sekali satu-dua karya saya baca di Radio Menara, dalam acara apresiasi sastra. Pak Made Sanggra (salah satu sastrawan Bali modern, red) ternyata mendengar pembacaan puisi Bali di radio. Dia lalu menawarkan puisi karyanya yang berjudul “Suara Saking Setra” (Suara dari Kuburan) untuk saya bacakan di Radio Menara. Pak Sanggra senang kalau saya yang bacakan sajaknya. Sejak itu saya menulis dan terus menulis. Ketika di Radio Menara-lah ide menulis puisi modre (meniru pola mantra) mulai, tepatnya tahun 1979. Puisi ini berbahasa campuran, antara bahasa Bali dan bahasa Indonesia.

Karya sastra Bali apa saja yang Anda tulis waktu itu?

Umumnya puisi. Temanya lucu-lucu, misalnya puisi “Pekak Kebles”. Idenya saya ambil dari dongeng yang diceritakan kakek saya.

Masih ingat, apa persisnya isi puisi “Pekak Kebles”?

Itu kisah orang yang banyak punya cucu. Mirip cerita Men Brayut. Hanya temanya bernada sindiran “banyak anak-banyak rezeki”. Puisi ini pernah dimuat dalam koran ZPG (Zero Population Growth; terbit di Denpasar atas prakarsa Widminarko, dikerjakan oleh Gustra dan Aryantha Soethama, red). Dua puisi saya dimuat di ZPG. Waktu itu Windhu Sancaya memberikan komentar. Puisi itu terlalu prosais, seperti kata-kata biasa. Saya akui, puisi itu terlalu naratif, mendekati prosa. Yang jelas, yang hendak saya buat adalah puisi.

Selain menulis puisi Bali dan “makakawin”, kegiatan kesenian apalagi yang Anda tekuni?

Akhir 1960-an saya juga bermain drama gong, bergabung dengan Sanggar Priambada Cita. Ini berlangsung beberapa tahun.

Anda kan juga menulis sastra Indonesia?

Ya, betul. Saya menulis sastra Indonesia mulai tahun 1973. Kian aktif setelah berkenalan dengan Pak Made Sukada (redaktur sastra Bali Post dan ketua Lesiba yang aktif melakukan apresiasi sastra di radio, seperti Radio Cassanova dan Menara, red). Sejak itulah saya mulai banyak menulis sastra Indonesia, padahal sebelumnya banyak saya menulis sastra Bali.

Setelah bertemu Sukada, apakah masih bermain drama gong?

Masih terus hingga tahun 1975. Hanya saja saya tidak suka bayaran. Pementasan biasanya untuk mengisi acara ritual (piodalan) di pura. Begitu kelompok kami menjadi grup yang menerima bayaran, saya mundur. Kalau niatnya ke uang, hasil seninya biasanya lain.

Ketika aktif membaca puisi Indonesia di radio-radio, apakah Anda masih menulis sastra Bali?

Masih. Cuma sifatnya tidak seperti yang bahasa Indonesia. Waktu itu yang menulis dalam bahasa Bali langka.

Memang langka, makanya Bali Post membuka rubrik “Sabha Sastra” untuk merangsang sastrawan Bali menulis dalam bahasa Bali.Apakah Anda pernah mempublikasikan karya di “Sabha Sastra”?

Tidak. Perhatian saya juga ke seni lukis. Lukisan saya tak pernah saya jual. Diminta atau saya kasih kawan.

Kalau sekarang, ke mana fokus perhatian Anda, sastra Indonesia, sastra Bali atau melukis?

Semuanya masih saya lakukan. Saya adalah guru seni lukis di sekolah. Tapi, memang lebih produktif untuk sastra Bali modern. Untuk sastra Indonesia, sekarang saya sedang menulis novel. Novel ini belum selesai. Ketika saya membaca novel Ahmad Tohari, trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”-nya, saya merasa bahwa apa yang saya tulis dalam novel perlu dikembangkan lagi.

Kira-kira kapan titik tolak Anda menulis sastra Bali modern makin terpacu?

Ketika Pak Made Sanggra datang ke rumah saya tahun 1999. Dia datang dengan cucunya untuk minta naskah. Dia datang terbungkuk-bungkuk. Naskah saya ada, tetapi tulis tangan. Saya tanya, Pak Sanggra apakah mau menerima itu. Dia mau dan akan mengetiknya sendiri. Saya betul-betul terharu atas kedatangan Pak Sanggra. Saya jadi terpacu. Naskah yang dibawa Pak Sanggra adalah kebanyakan hasil tulisan saya tahun 1970-an. Tahun 1970-an saya produktif untuk menulis dalam bahasa Bali dan Indonesia.

Apakah perbedaan menulis sastra dalam dua bahasa berbeda?

Kalau menulis dalam bahasa Bali pola pikiran kita harus Bali. Kalau bahasa Indonesia ya lain. Saya cenderung menulis dalam bahasa Bali untuk tema-tema lokal, misalnya menulis tentang pura, agama, adat. Banyak kata atau konsep yang tepat diungkapkan dalam bahasa Bali seperti bungsil makocok, nenggel, mekilad. Tak ada rasanya istilah-istilah ini dalam bahasa Indonesia. Tapi, kalau sifatnya bukan soal tradisi lokal, saya menulis dalam sastra Indonesia. Menulis dalam bahasa Bali tantangannya adalah masalah bahasa sor-singgih (tingkatan ragam bahasa, red). Saya biasanya pilih bahasa Bali madia, yang tengah-tengah.

Cerita-cerita pendek Anda yang berbahasa Bali banyak mengungkapkan mitos seperti “leak”, apakah ada alasan istimewa menulis hal seperti itu?

Masalah ini saya alami sendiri. Saya dulu lahir muda (1949) dan sakit-sakitan. Belakangan ibu memberitahukan bahwa leluhur kami banyak yang menjadi balian (pengobat tradisional, red), namun semuanya usianya pendek ketika jadi balian. Salah satu dari mereka “mengisi” saya. Sejak diisi itu saya tidak pernah merasa takut. Singkat cerita, tahun 1960-an akhir, saya belajar perisai diri. Guru saya bilang bahwa saya “berisi”, lalu “dibersihkan”. Saya tidak tahu bahwa tubuh saya berisi. Setelah dibersihkan, akhirnya saya terus merasa takut. Saya sering mendegar suara di rumah, juga melihat bentuk-bentuk yang aneh, misalnya rangda atau wajah tanpa tubuh. Wujudnya tak pernah sempurna.

Anda percaya bahwa leak itu ada?

Oh percaya, hanya bentuknya berbeda.

Untuk apa menulis kisah-kisah mistik sebagai tema sastra?

Saya ingin damai. Biar tak ketakutan. Kalau mereka datang terus daripada kita takut, lebih baik dimanfaatkan saja untuk ditulis. Selain itu saya ingin mengatakan bahwa tiap orang itu leak, karena unsur leak ada pada diri tiap orang. Marah adalah unsur leak, begitu juga sad ripu (enam jenis godaan/musuh manusia, red). Jadi pada saat unsur leak itu datang, saya menulis sehingga puisi itu penuh dengan kemarahaan. Jadinya, puisi juga bisa sebagai saluran penghilang stres. Kalau saya baca puisi saya, dengan teriakan suara tertentu, perasaan bisa jadi plong.

Bagaimana kira-kira perkembangan sastra Bali ke depan menurut Anda?

Memang tantangannya besar. Pertama, pengaruh media besar. Buktinya dengan adanya media sekarang perkembangan sastra Bali modern lumayan, tapi itu masih kurang. Tiang ada kecemburuan melihat budaya lain, misalnya film Cina, India, Jepang yang menampakkan huruf-huruf Cina, kanji, huruf negari. Kenapa kita tak bisa seperti itu?

Apakah Anda baca sastra Bali karya teman-teman lain?

Terutama yang tiang baca yang dimuat dalam Canang Sari dan Buratwangi. Saya dikirimi majalah ini oleh Pak Manda dan Raka Kusuma.

Bagaimana kecenderungan tema dan bentuk karya mereka?

Kalau cerpen temanya cenderung ke arah lucu, mistik. Kalau puisi cenderung ke religius.

Adakah bibit pengarang Bali yang Anda nilai potensial menjadi pengarang baik?

Ada itu. Saya lihat karyanya bagus. Namanya lupa saya, dia sering ke mari. Karyanya dimuat di Bali Post. Mudah-mudahan dia mau terus menulis. Akan jadi bagus itu.

Siapakah sastrawan Bali yang kualitas karyanya Anda kagumi?

Ada, yaitu Pak Made Sanggra dan Pak Nyoman Manda. Keduanya ada bedanya. Kalau Pak Sanggra, bahasanya halus sekali barangkali karena usia dan pengalamannya menulis sudah lama. Kalau Pak Nyoman Manda ya bisa kita ikuti, tingkat kehalusannya rasanya biasa-biasa saja. Kalau terus menggeluti, kita juga rasanya bisa seperti Pak Made Sanggra. Karya Pak Sanggra yang saya kagumi adalah sajak-sajaknya yang mistik, seperti sajak “Suara Saking Setra” itu. Saya suka yang ngeri-ngerilah.

Apakah perkembangan sastra Bali modern mendukung pembinaan bahasa Bali?

Sementara ini tiang lihat seperti ada yang terputus. Mestinya, pembinaan sastra dan bahasa Bali dikaitkan dengan pendidikan. Saya sedang cari ide bagaimana menyalurkan majalah-majalah berbahasa Bali Canang Sari dan Buratwangi ke sekolah-sekolah. Mungkin bisa ditempuh lewat musyawarah guru bahasa Bali. Saya ada rencana mempertemukan mereka sambil menawarkan majalah. Keinginan saya agar guru membaca dan mengajak siswa membaca karya sastra berbahasa Bali. Gurunya kita harapkan memberikan motivasi kepada siswa untuk menulis.

Apakah ide ini bisa dilaksanakan?

Saya sudah mencoba dan menjalankannya. Baru saja saya mengirim karangan siswa dari beberapa sekolah yang saya bina dalam kegiatan ekstrakurikuler untuk sastra dan drama. Anak-anak saya suruh menulis. Saya seleksi. Ada 30 puisi berbahasa Bali sudah saya pilih dan saya kirim ke redaktur majalah Canang Sari. Untuk berikutnya saya akan kirim ke Buratwangi. Kalau di Canang Sari itu kan arahnya ke pembinaan, seleksinya lebih longgar, sedangkan Buratwangi bobotnya harus lebih baik. Kalau dimuat, saya kira anak-anak tertarik terus menulis.

Bagaimana masa depan bahasa Bali?

Ini berkaitan dengan pengajaran bahasa Bali di sekolah, kepada generasi muda. Mestinya sudah diperhitungkan dan diputuskan agar porsi pengajaran bahasa Bali lebih tinggi daripada bahasa apa pun yang lain. Pengajaran bahasa Bali harus dimulai dengan huruf Bali. Sekarang pengajaran bahasa Bali terlalu ringan, walau anehnya anak-anak terasa berat mengikuti. Inilah soalnya. Harus dimulai sejak awal. Jam pengajaran bahasa Bali paling sedikit. Anak kalau dimanjakan jadinya sulit. Apalagi ada gengsi, malu berbahasa Bali. Dengan adanya otonomi daerah, kebijakan pengajaran bahasa Bali ke arah ini harus segera diwujudkan.

Perhatian apa yang pernah diberikan pemerintah daerah kepada Anda sebagai seniman?

Bentuknya berupa undangan membaca puisi di Pesta Kesenian Bali 2002 yang baru lalu. Yang diundang adalah saya dan Pak Nyoman Manda. Waktu itu kami baca puisi di ruang terbuka, kayak pedagang obat. Walau tidak ada yang nonton, tapi kita baca sepenuh hati, seperti di radio.

Di mana lagi pernah baca puisi Bali?

Saya pernah baca puisi di Radio Global lewat telepon. Anak saya yang sekolah di STSI yang mengiringi dengan nyanyian. Gara-gara senang baca puisi, pernah saya harus membayar telepon Rp 600 ribu.

* Pewawancara: Darma Putra

Biodata
Nama : Drs. I Gusti Putu Bawa Samar Gantang
Tempat, tgl. lahir : Tabanan, 27 September 1949
Pendidikan :- PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) Jurusan Sejarah (1972)
– IKIP Saraswati Tabanan (1997)
Istri : I Gusti Ayu Made Susiati
Anak :
– I Gusti Ayu Putu Mahindu Dewi Purbarini
– I Gusti Made Mahindu Swara
– I Gusti Nengah Hari Mahardika
– I Gusti Ketut Adi Dewantara

Pekerjaan:
Guru SMP Harapan Tabanan, SMP TP 45, SMPN 3, SMP Pemuda, SMP Dharma Bakti (sejak 1973) Guru SMPN 2 Tabanan (sejak 1979).

Prestasi terakhir:
Penerima Hadiah Sastra Cakepan Sarad (2001)
Penerima Hadiah Sastra Rancage (2003)
Tim Penyusun Buku Pelajaran Sastra Nasional (2003)

Sumber: http://www.balipost.com/balipostcetak/2003/2/16/pot1.html