DENPASAR – Akademisi dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, mengangkat petikan dalam kisah Ni Diah Tantri untuk menyikapi wacana krisis air di Pulau Dewata pada acara sarasehan serangkaian Pesta Kesenian Bali ke-39.
“Jangan sampai kita salah langkah mengambil keputusan seperti ikan-ikan di Telaga Kumudasara dalam cerita Tantri yang ditipu dengan mengatakan kolam akan kekurangan air, padahal itu hanya jebakan bangau rakus untuk memangsa ikan-ikan,” kata Darma Putra saat menjadi narasumber dalam sarasehan PKB ke-39, di Taman Budaya Denpasar, Kamis, (29 Juni 2017).
Menurut dia, jangan sampai pula gara-gara isu krisis air di Bali digunakan bangau-bangau rakus untuk menjatuhkan industri pariwisata di Pulau Dewata.
“Kalaupun di beberapa daerah di Bali terjadi kekurangan suplai air, itu terjadi bukan karena sumber daya air yang terbatas, tetapi masalah tata kelola dan manajemen. Sehingga wacana krisis air lebih pada fenomena sosial politik dan memerlukan solusi kebijakan publik,” ujarnya dalam sarasehan bertajuk Ulun Danu, Representasi Peradaban Air itu.
Darma Putra mengatakan, selama ini industri pariwisata sering dijadikan kambing hitam sebagai penyebab krisis air. Memang pemakaian air di industri pariwisata jauh lebih besar daripada pemakaian air rumah tangga. Data menunjukkan penggunaan air oleh seorang wisatawan di hotel diperkirakan menghabiskan sampai 3.000 liter per hari atau hampir 10 kali lipat dari keperluan setiap orang dalam rumah tangga biasa.
“Namun kenyataannya menunjukkan bahwa Bali tidak pernah krisis air secara sesungguhnya seperti yang dirasakan oleh warga Brisbane tahun 2009. Di sana pemerintah sampai membatasi penggunaan air untuk mandi dan menyiram tanaman,” ujarnya.
Sedangkan wacana krisis air di Bali, kata Darma Putra, berada antara fakta dan fiksi. Dia mencontohkan, bagi warga miskin yang berada di daerah Jimbaran, Kabupaten Badung, krisis air menjadi fakta karena mereka kesulitan untuk mendapatkan air bersih kalau tidak mengeluarkan uang.
“Tetapi jika melihat ke sejumlah hotel-hotel di wilayah tersebut, justru wisatawan bisa menikmati air yang berlimpah, sehingga wacana krisis air menjadi fiksi,” ucapnya.
Oleh karena itu, dengan mengangkat cerita Tantri tentang Bangau Tamak, isu krisis air dalam cerita tersebut hanyalah alat untuk menipu. Tidak benar ada kemarau panjang yang membuat air telaga akan surut, yang benar adalah akal licik bangau agar dapat memperdaya ikan-ikan sebagai mangsanya.
“Ikan dalam kisah itu yang kurang kritis, mudah percaya, mati secara tragis dimangsa bangau. Sedangkan bangau yang loba pun akhirnya juga mati,” kata guru besar bidang Sastra Indonesia itu.
Cerita tersebut, lanjut dia, memberikan pesan moral yang tinggi bahwa kita harus hati-hati mengambil keputusan, harus menimbang situasi dengan baik agar tidak kena tipu, harus mampu membaca tanda-tanda alam sesuai siklus musim.
Darma Putra menambahkan, kembali dikaitkan dengan konteks wacana krisis air di Bali, maka masyarakat, pengelola usaha, investor, dan unsur pemerintah bertanggung jawab pada tata kelola air sehingga perlu terus-menerus memikirkan, menghayati, dan mengamalkan perlunya menghemat pemakaian sumber daya air.
“Salah satu penelitian yang dilakukan Stroma Cole juga menunjukkan niat wisatawan yang mendukung ke arah upaya konservasi air sebagai bagian dari pelestarian planet bumi secara global. Jadi seyogyanya tidak terus mengkambinghitamkan industri pariwisata sebagai penyebab krisis air,” kata Darma Putra.
sumber: CENDANA NEWS http://www.cendananews.com/2017/06/kisah-tantri-refleksi-krisis-air.html
Judul disesuaikan sedikit.