Oleh Raka Santeri
(Pos Bali, Sabtu, 28 Sept 2013)
SUBAK yang telah terbentuk sejak abad ke-8 dan terus-menerus memelihara kehidupan masyarakat Bali, kini semakin terancam. Padahal dari tanah dan air Subak itulah pula kebudayaan Bali telah muncul dan berkembang. Padi dan tanaman yang tumbuh diatasnya, telah menumbuhkan budaya agraris yang agung dan menawan. Air yang mengalir mengairi lahannya, telah menumbuhkan budaya “tirta”. Tetapi kenapa sekarang kita tega mengabaikan semua kemuliaan itu?
Rupanya karena kita sudah terlalu rakus dan bodoh. Dewi Sri dengan tangan-tangannya yang lembut memangku kehidupan masyarakat Hindu selama berabad-abad, seolah-olah kini kita campakkan dengan keserakahan materi kita yang hanya ingin melihat uang. Para pejabat pemerintahan memajaki tanah-tanah pertanian karena ingin mendapat pemasukan yang lebih besar. Akibatnya, para petani yang berusaha mempertahankan tanah pertanian mereka, hidup semakin sengsara, dan akhirnya menjual tanah itu demi uang juga. Dewi Sri pun akhirnya pelan-pelan terusir, meninggalkan sepotong surga yang masih tersisa di bumi ini, menuju alam kedewataannya.
Bersyukur masih ada yang datang mengingatkan kita. Unesco telah menjadikan Subak sebagai warisan budaya dunia. Tetapi mampukah guncangan yang diberikan UNESCO itu menyadarkan kita dari kemabukan materi? Maka berkumpullah sejumlah ahli dari dalam dan luar negeri pada Kongres Kebudayaan Bali II tahun 2013, tanggal 24 sd 25 September lalu. Mereka berbicara khusus tentang nasib Subak kita di Bali ini.
Meskipun mereka berbicara tentang Subak, sesungguhnya mereka tengah berbicara tentang penyelamatan budaya Bali yang juga sedang mengalami gempuran sekarang ini. Bukankah ketika berbicara tentang penyelamatan Subak, sesungguhnya kita sedang berbicara tentang penyelamatan “sumber kekuatan budaya agraris” yang masih tersisa sampai saat ini? Di balik pembicaraan tentang air irigasi, kita juga sedang berbicara tentang nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam “agama tirta” di masa lalu. Bahkan di balik pembicaraan tentang “tanah sawah” dan “air irigasi” itu, kita sedang berbicara tentang kesetiaan kita kepada negara, kepada Tanah Air Indonesia!
Maka akhirnya disepakatilah 7 komponen lansekap Budaya Bali yang wajib dilindungi. Ke-7 lansekap itu adalah: 1. Petani Subak, 2. Hutan, 3. Lansekap sawah terasering, 4. Desa, 5. Pura, 6. Tradisi, dan 7. Budaya.
Semua peserta sepakat, omong kosong kita mampu memelihara subak, apabila para petani subak itu tetap hidup melarat, sehingga tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Pajak terhadap tanah yang semakin tinggi, akhirnya akan menyebabkan mereka menjual tanah garapan mereka untuk beralih ke profesi lain yang mereka tidak kuasai. Akhirnya mereka gagal, dan tanah pun tidak tersedia lagi.
Inilah pula yang menyebabkan hutan ikut terancam. Mereka menebang hutan karena perlu makan, perlu uang untuk menghidupi keluarga mereka. Oleh karena itu kesejahtraan hidup petani akan ikut berdampak pada kelestarian hutan yang menyediakan sumber air bagi subak. Jika petani mampu disejahtrakan hidupnya, hutan bisa dijaga kelestariannya, maka keindahan lansekap sawah terasering seperti di Desa Jati Luwih, Kabupaten Tabanan pun akan tetap bisa kita nikmati sepanjang masa.
Tapi tidakkah semua itu hanya angan-angan, hanya “omong-omong” untuk didiskusikan lagi pada tahun-tahun anggaran berikutnya? Nah, disinilah memang masalahnya. Maka sekali lagi, untung ada Unesco yang tentu akan ikut mengawasi pemberian gelar “Warisan Budaya Dunia”-nya untuk subak kita. Dalam pemaparan Dirjen Kebudayaan Kemdikbud RI, memang disebutkan ancang-ancang bahwa pada akhir tahun 2013 ini sudah akan dibentuk suatu “lembaga” dengan program kegiatan serta aspek legalitasnya. Lalu pada tahun 2014 depan, usaha penyelamatan subak secara nyata, sudah bisa dimulai.
Mari kita berdoa dan berusaha, semoga Dewi Sri yang bersemayam dan memberkati sistim Subak kita selama ini, masih tetap bisa memberkati kemakmuran masyarakat Hindu di Bali dalam jangka waktu yang lebih panjang*
Raka Santeri, wartawan.