Mantan pejabat Wakil Gubernur Bali, I Gusti Ngurah Pindha, ternyata pernah menulis novel berjudul Selubung Barong dalam Lahar (1979). Novel penting dan langka yang berkisah tentang tragedi erupsi Gunung Agung 1963 itu kurang dikenal publik.
Atas inisiatif Agung Budhiantika Pindha (Gung Pindha), putra I Gusti Ngurah Pindha yang tinggal di Gold Coast, Australia, novel ini dicetak ulang. “Kami ingin setidaknya anggota keluarga kami semua bisa membaca karya leluhur kami,” ujar Gung Pindha.
Selain menulis novel ini, Ngurah Pindha juga menulis buku Perang Bali: Sebuah Kisah Nyata yang juga belum lama dicetak ulang.
Saya beruntung dipercaya memproses penerbitan kembali novel Selubung Barong dalam Lahar. Berikut adalah pengantar ringkas sebagai editor.
Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia-Nya-lah, novel Selubung Barong dalam Lahar karya I Gusti Ngurah Pindha (1924-1991) ini bisa diterbitkan kembali setelah 44 tahun berselang.
Novel ini pertama kali terbit tahun 1979 oleh penerbit Sarana Bhakti, Denpasar, ukuran 18 x 12 cm, tebal 141 halaman. Rupa dan warna desain sampul bisa dilihat di bagian belakang novel ini. Desain sampulnya sengaja dipasang dengan berwarna di belakang (dan di bawah untuk hitam putih) untuk memenuhi rasa ingin tahu pembaca, yang mungkin bertanya: kayak apa sih bentuk sampul edisi perdana?
Novel ini diterbitkan kembali karena sulit didapatkan dan untuk memperluas akses pembacaan bagi peminat. Faktanya bahwa novel Selubung Barong dalam Lahar ini tidak dikenal masyarakat, termasuk kurang dikenal kalangan penggemar atau mahasiswa pecinta dan peneliti sastra di Bali. Ini petanda kehadiran novel I Gusti Ngurah Pindha ini tidak sampai ke tangan pembacanya, padahal isinya sangat menarik dan penting.
Seperti bisa disimak dari judul dan gambar sampul aslinya, novel ini dikisahkan dengan latar letusan Gunung Agung 1963. Meski berkisah tentang bencana alam mahadashsyat yang dialami Bali saat itu, novel ini berkisah jauh tentang filosofi Hindu, seperti ihwal karma phala, tri sarira (tiga lapis unsur dalam diri manusia: stula, suksma, dan anta karana sarira, masing-masing adalah badan kasar, badan halus, dan jiwa manusia), dan tentu saja Tuhan. Elemen percintaan diselipkan untuk membuat kisah dan cerita memiliki daya pikat yang multidimensional.
Situasi kaos mencekam yang terjadi saat bencana, lanskap puing, soal hukum karma, mitos, dan ihwal magis, dan kemahakuasaan Tuhan dinarasikan oleh pengarang lewat perjalanan dan dialog tokoh utama cerita, pemuda Bali yang kuliah di Yogya. Dalam perjalanan pulang ke desanya yang terletak tak jauh dari lereng Gunung Agung itu, dia melihat dan merasakan segala kedukaan yang bisa dirasakan pembaca.
Di akhir cerita, dia dikisahkan bertemu sosok gaib yang tampak seperti kakeknya tetapi bukan. Tokoh gaib ini menjelaskan semua rasa ingin tahu pemuda itu untuk menjelaskan berbagai misteri di balik lahar Gunung agung. Mengapa kata ‘barong’ digunakan di dalam judul novel, bisa disimak jawabannya dalam dialog sang tokoh dengan kakek tua gaib itu.
Peristiwa besar biasanya menjadi inspirasi tiada habis bagi sastrawan untuk menulis. Namun, erupsi Gunung Agung 1963 yang mahadasyat apalagi dikaitkan dengan pelaksanaan gagal upacara Eka Dasa Rudra saat itu belum banyak ditulis sebagai latar atau tema cerita. Bukan tidak ada sama sekali, tetapi hanya ada sedikit, bisa dihitung dengan jari tangan. Dari karya yang ada itu, semuanya bisa dikatakan kurang dikenal pembaca, karena tidak mudah diperoleh.
Sejauh yang bisa dicatat, ada empat karya yang sastra berlatar dan bertema utama tentang Gunung Agung meletus.
Pertama, “Geguritan Gunung Agung Meletus” karya Made Jelantik dari Sibetan, Karangasem, 10 km dari Gunung Agung. Geguritan berbahasa Bali ini terdiri atas 116 bait, ditulis tahun 1964, jarak yang sangat dekat dengan terjadinya erupsi. Naskah geguritan ini merupakan koleksi sastrawan terkemuka Dewa Gede Catra, dimuat di majalah Buratwangi tahun 2004.
Kedua, novel Selubung Barong dalam Lahar (1979) karya I Gusti Ngurah Pindha. Karya ini tidak banyak dikenal, baru ditemukan 2023, dan dicetak kembali tahun ini juga.
Ketiga, novel berbahasa Inggris The Night of Purnama (1983) karya Anna Mathews, diterbitkan oleh Oxford University Press, tebal 219 halaman. Buku ini pertama kali diinformasikan kepada saya oleh Graeme MacRae, sahabat dari New Zealand. Lalu, arsitek penggemar buku I Nyoman Gede Maha Putra, S.T., M.Sc., Ph.D. (dosen Universitas Warmadewa) dengan baik hati meminjamkannya.
Keempat, novel Di Bawah Letusan Gunung Agung (2015) karya Djelantik Santha, penulis asal Karangasem. Ditulis dalam bahasa Indonesia, novel yang diterbitkan Balai Bahasa Bali ini mengisahkan bencana dan ritual Eka Dasa Rudra yang dikemas dalam kisah cinta.
Penemuan sampai cetak ulang novel ini berawal dari suatu hari di bulan Mei 2023. Seorang kawan, I Dewa Gede Windhu Sancaya, dosen Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Unud mendapatkan novel Ngurah Pindha ini di sebuah toko buku sederhana di Denpasar. Dia membeli dua buku dan meneruskan sebuah kepada Agung Budhiantika Pindha (Gung Pindha), putra I Gusti Ngurah Pindha yang tinggal di Gold Coast, Australia.
Gung Pindha mengatakan tidak tahu ayahnya pernah menulis novel ini. Dari “penemuan” Pak Windhu inilah, Gung Pindha berinisiatif menerbitkan buku ini untuk diteruskan pertama-tama kepada keluarga, dan juga kepada peminat sastra atau pembaca lain yang berminat.
Selain itu, penerbitan ulang ini buku ini bisa bermakna sebagai lanjutan dari usaha untuk membuat karya-karya penting I Gusti Ngurah Pindha, yang berlatar belakang militer dan birokrat sebagai pejabat Wakil Gubernur Bali (lihat profil di bawah), bisa diakses dan dinikmati pembaca.
Sebelumnya, sudah diterbitkan buku karya beliau yang berjudul Perang Bali: Sebuah Kisah Nyata (2013), yang awalnya dimuat bersambung di koran Suara Indonesia (kemudian bernama Bali Post) tahun 1960-an.
Sebagai editor penerbitan ulang atau rebranding novel ini, saya sempat memeriksa beberapa arsip koran Suluh Marhaen atau Suara Indonesia dari tahun 1964 hingga 1979 secara acak, namun tidak menemukan novel Selubung Barong dalam Lahar ini pernah dimuat. Riset lebih cermat mungkin perlu dilakukan sehingga lebih terkuak riwayat naskah novel ini.
Saya berterima kasih kepada sahabat Gung Pindha yang memberikan kepercayaan untuk mengawal proses cetak ulang novel ini. Sebagai editor, saya berusaha untuk merapikan ejaan, tata tulis, dan hal teknis lainnya. Jika masih ada yang kurang tepat, ampunilah!
Saya berterima kasih kepada I Gusti Bagus Arya Yudiastina yang memindai novel agar tidak mengetik ulang dan mengerjakan tata letak buku dengan cermat dan indah. Juga apresiasi saya sampaikan kepada sahabat pelukis hebat Made Kaek yang mengizinkan kami menggunakan karya dahsyatnya sebagai sampul novel edisi baru ini.
Profil Ringkas I Gusti Ngurah Pindha
I Gusti Ngurah Pindha lahir di Denpasar pada tahun 1924, dan wafat tahun 1991 dalam usia 67 tahun.
Masa kanak-kanak hingga Sekolah Dasar dihabiskannya di Bali. Memasuki awal usia 20-an ia bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA) dan menjalani pendidikan militer Jepang di Singaraja selama dua tahun (1943-1945). Pada masa perjuangan melawan Belanda, ia turut menjadi anggota Kesatuan Resimen Sunda Kecil di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Jabatan resminya saat itu adalah Kepala Staf Batalion I dengan pangkat letnan. Tetapi, selama perjuangan ia sering berganti-ganti tugas sesuai perintah atasan dan mengikuti kebutuhan pasukan.
Setelah Indonesia berdaulat penuh, Ngurah Pindha melanjutkan karier militernya di Makassar (Sulawesi Selatan) sambil melanjutkan sekolah hingga lulus sebagai sarjana muda sosial politik. Kemudian ia disekolahkan lagi di Sekolah Staf Angkatan Darat di Bandung pada tahun 1960. Ia sempat menjabat sebagai Komandan Komando Pelabuhan Laut Makassar dan Kepala Staf I Korem III Makassar (1960-1962).
Tahun 1962 ia kembali ke Bali dan bertugas sebagai Kapendam Udayana, merangkap sebagai Kepala Kamuved Nusa Tenggara (1962-1966). Tahun 1965-1970 ia ditunjuk menjadi Wakil Gubernur tingkat I Bali. Kemudian pada 1977-1982, ia menjadi anggota MPRRI dan terakhir menjadi anggota DPRRI untuk masa jabatan 1982-1987.
Berbagai bintang jasa di bidang militer telah diterimanya, antara lain Bintang Gerilya, Satya Lencana Penegak, Satya Lencana, dan Medali 3 Windu. Ketika wafat pada usia 67 tahun, beliau diupacarai secara militer di tempat asal keluarga besarnya di Denkayu, Mengwi, Badung, Bali.
Tahun 2017, almarhum dianugerahi Parama Budaya oleh Walikota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra. Selain novel ini, beliau juga menulis buku Perang Bali: Sebuah Kisah Nyata (2013), seperti disebutkan di awal tulisan ini (I Nyoman Darma Putra)