Kopi hangat di tepi hamparan sawah indah warisan budaya dunia UNESCO Jatiluwih (foto-foto Darma Putra)

Hujan cukup deras sore hari di penghujung bulan April 2023. Sekitar pk. 14.30, kami dalam perjalanan dari Denpasar menuju Jatiluwih di bawah terpaan hujan.

Sudah lama kami tidak ke Jatiluwih, makanya guyuran air dari langit itu tidak mengurungkan niat kami untuk terus meluncur. Kerinduan rekreasi memanjakan mata dengan indah sawah sudah tak bisa ditawar.

Syukurlah sesampai di Jatiluwih, hujan mereda. Memasuki kawasan daya tarik wisata Jatiluwih, petugas menyapa dengan sopan, menanyakan kami pergi ke mana. Kami membayar tiket, harga tiket domestik Rp15 ribu.

Wisatawan asing di Jatiluwih.

Kami parkir dan berlari menghindari gerimis. Dekat parkir, ada beberapa cafe. Kami duduk di cafe minum kopi sambil menikmati keindahan hamparan sawah indah Jatiluwih. Saat itu, sawah subur dengan padi menghijau yang baru berbuah. Indah hijau alami.

Gunung Batukaru di latar belakang tertutup awan. Gunung indah berhutan lebat. Punggung gunung perlahan terang setelah mentari memancarkan sedikit sinarnya.

Hamparan persawahan Jatiluwih di Tabanan Bali yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO Juni 2012 silam adalah magnet kuat menarik wisatawan. 

Wisatawan jalan-jalan di tepi hamparan sawah di gerimis hujan.

Sore itu, dalam suasana long weekend, suasana memang agak sepi. Tidak seramai yang saya bayangkan. Maklum karena hujan. 

Sebagian turis duduk di warung-warung yang menghadap ke persawahan. Sebagian lainnya ikut jogging track memasuki jalur persawah. Mereka mengenakan payung untuk mencegah basah. 

Dari kejauhan, rombongan tracking terlihat melintasi sela hijaunya sawah.

Memotret sawah indah.

Sebelum Covid-19, rata-rata 2000-an wisatawan berkunjung ke terasering persawahan indah. Selama Covid, angka kunjungan menurun drastis. Belakangan, jumlah pengunjung mulai bertambah menjadi rata-rata 900 per hari. Memang angka ini masih separuh dari pra-pandemi, namun sudah mulai bangkit. 

Manajer Badan Pengelola DTW Jatiluwih I Wayan Sutirtayasa, menyampaikan bahwa angka kunjungan ke Jatiluwih sudah meningkat tetapi belum mampu meraih ke angka sebelum pandemi (NusaBali, 25/1/2023).

Tiket Murah

Harga tiket masuk ke Jatiluwih dibedakan antara wisatawan domestik dan asing. Harganya sangat terjangkau. Untuk wisatawan domestik hanya Rp.15.000 per orang dan untuk wisatawan mancanegara Rp.40.000 per orang. 

Terpikat indah sawah.

Jika dibandingkan, angka kunjungan wisatawan domestik sekitar 10%, sisanya 90% wisatawan mancanegara. Jatiluwih buka mulai pukul 07.00 hingga 17.00. 

Pendapatan dari pengelolaan daya tarik ini dibagi dengan pemerintah, desa, dan petani.

Jatiluwih sudah dikembangkan menjadi daya tarik wisata sejak awal 1990-an, namun baru meroket namanya setelah ditetapkan sebagai bagian dari warisan budaya dunia oleh UNESCO dalam label: The Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy tahun  2012. Sejak itu, angka kunjungan berlipat ganda dan terus meningkat sampai sekarang.

Di sekitar Jatiluwih pertumbuhan restoran dan cafe. Juga ada akomodasi tempat wisatawan bermalam. Restoran atau cafe buka sampai pk. 21.00. Walau pengunjung sudah pulang sore hari, cafe dan restoran buka untuk melayani tamu yang menginap di sekitarnya.

Minum Kopi

Saat gerimis sore, tak ad ayang lebih daripada minum kopi di tepi hamparan sawah indah Jatiluwih. Kami memesan kopi Bali dan pisang goreng. Menur lain juga tersedia seperti bubur beras hitam. Pilihan kami saat itu adalah pisang goreng hangat.

Kopi hangatkan gerimis.

Harga snack, minuman, dan makanan bervariasi, namun cukup murah. Harga kopi nasi goreng seafood Rp30 ribu, cheese sandwich Rp30 ribu, kopi Americano Rp18 ribu. Ada juga nasi beras merah, beras khas Jatiluwih. 

Harga makanan tergolong murah apalagi bagi kantong wisatawan asing. Mereka bisa duduk di restoran sederhana sambil menatap keindahan persawahan.

Menu

Petunjuk dan Jalan

Hanya saja ada dua catatan yang perlu disampaikan. Pertama, jalan dan penunjuk jalan ke Jatiluwih perlu dibuat jelas, bagus, berkelas dunia agar wisatawan menuju ke sana tidak ragu. Petunjuk arah mesti dibuat standar sehingga bisa dilihat dari kejauhan di jalur menuju Jatiluwih.

Wisatawan di Jatiluwih.

Kedua, jalan menuju daya tarik kelas dunia ini idealnya terus dirawat sehingga  tidak sampai berlubang. Belakangan musim hujan, jalan yang sempat halus mulai rusak di sana-sini, Selain itu, secara umum jalan menuju Jatiluwih dari Tabanan Kota atau dari arah Baturiti tergolong sempit.

Manajer Wayan Sutirtayasa menyampaikan keterbatasan  infrastruktur, khususnya akses jalan menjadi persoalan yang mesti mendapat atensi agar kunjungan wisatawan lebih banyak.

Wisatawan asing makan dan minum dengan pemandangan sawah Jatiluwih.

Dia berharap agar ruas jalan diharapkan dapat diperlebar oleh pemerintah sehingga kendaraan- kendaraan wisatawan dengan kapasitas yang lebih banyak seperti bus dengan 40 seat lebih leluasa masuk. 

“Sehingga akses untuk mengunjungi DTW lain sekitar lebih gampang,” harapnya seperti dikutip koran NusaBali.

Hal lain yang saya amati ketika berkunjung ke sana Minggu, 30 April 2023, adalah pemasangan lembaran (terlihat menyerupai seng) yang bikin silau di areal sawah. Persawahan sedang menghijau, padi mulai berbuah. 

Kertas putih pemantul cahaya di persawahan.

Petani biasanya memasang lelakut (orang-orangan) untuk mengusir burung. Saat itu saya kaget karena melihat terpasangnya tyang bambu berisi kertas-kertas pemantul cahaya, mungkin bisa juga membuat burung takut mendekat ke padi. Namun, kertas-kertas mirip seng itu memantulkan cahaya membuat pemandangan sawah sedikit ternoda.

Saat kami di sana suasana gerimis praktis tidak ada pantulan cahaya keras. Bayangkan kalau langit cerah, pasti tak terhindarkan kelap-kelip silau di kawasan indah terasering sawah warisan budaya dunia UNESCO itu. Untung, kertas-kertas pemantul cahaya itu tidak tersebar banyak di seluruh areal persawahan.

Saya teringat ekspresi ketidakpuasan petani di daerah persawahan atau terasering indah Ceking Tegallalang, tak jauh dari Ubud. Petani memasang seng untuk membuat silau pengunjung yang menatap sawah-sawah indah mereka. Mereka juga memasang tulisan “Not for Sale”.

Suasana di Ceking awal 2010-an (foto BaleBengong, 2014)

Kiranya itu ekspresi ketidakpuasan karena sebagai petani sawah mereka dimanfaatkan oleh pihak lain, sementara imbalan untuk mereka dirasa sedikit. Belakangan masalah kecemburuan bisnis ini sudah diselesaikan di sana.

Jatiluwih sudah menjadi daya tarik wisata handalan bagi Bali pada umumnya dan Tabanan pada khususnya. Diperlukan perhatian serius pemerintah dan pengampu kepentingan di sana untuk menata segalanya agar Jatiluwih benar-benar luwih (bagus).

Keluwihan Jatiluwih akan membuat senang wisatawan dan menyejahterakan petani serta masyarakat dari hasil kelola pariwisata (Darma Putra).