BANYAK orang khawatir tradisi mendongeng kini semakin sirna. Kemajuan teknologi pun kerap dituding sebagai biang kerok melunturnya tradisi mendongeng.
Namun, guru besar sastra dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana (Unud), I Nyoman Darma Putra justru menemukan hal sebaliknya. Menurutnya, dongeng Indonesia kini justru memasuki arah baru. Kemajuan teknologi informasi turut mendorong arah baru dongeng Indonesia itu.
“Saya kira tidak benar kemajuan teknologi membuat dongeng Indonesia meluntur. Justru, kemajuan teknologi memberikan wahana baru bagi pengembangan dongeng-dongeng kita, baik sebagai warisan masa lalu, maupun dongeng-dongeng baru,” kata Darma Putra saat tampil sebagai pembicara dalam seminar nasional bertajuk “Literasi Pembentukan Karakter Anak Melalui Dongeng” yang digelar Badan Kerja Sama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Bali bekerja sama dengan IKIP PGRI Bali di auditorium Redha Gunawan, Kampus IKIP PGRI Bali, Denpasar, Jumat (29/3) lalu.
Selain Darma Putra, turut tampil Kepala Seksi Pembelajaran dan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Mareeta Wahyuni serta Rektor IKIP PGRI Bali, I Made Suarta.
Darma Putra mencontohkan kini ada program Nusantara Bertutur di media Kompas. Dalam program itu, orang-orang diajak menyumbang dongeng. Lalu, dongeng sumbangan pembaca itu dimuat di koran dan disiapkan versi lisannya secara digital. Jika memindai kode QR-nya dalam koran, orang akan diarahkan ke penuturan secara lisan. Dalam penuturan lisan, unsur hiburannya lebih terasa.
Dongeng-dongeng yang muncul dalam program Nusantara Bertutur itu menunjukkan adanya arah baru dongeng Indonesia.
Dongeng pada era baru menghasilkan cerita dengan judul, isi, dan pesan dongeng yang aktual dengan jiwa zaman. Kalau dulu cerita ‘Bawang Merah dan Bawang Putih’, ‘I Belog’, ‘Kancil dan Lutung’, kini judulnya ‘Bank Sampah’, ‘Tari Nusantara’, ‘Jadilah Supoter yang Baik’. Dongeng menjadi sarana pendidikan dan pengetahuan, unsur hiburannya tidak semenonjol di masa lalu. Dulu dongeng lisan kemudian dibukukan, kini ditulis dulu baru dilisankan.
Dongeng lama cenderung menguatamakan hiburan, pelipur lara, pengantar tidur, kini dongeng hadir kaya dengan pelajaran atau nasihat moral. Dulu dongeng bersifat fiktif, kini cenderung bersifat mitos dan logos atau mengandung unsur pengetahuan.
“Perubahan lain, dongeng-dongeng baru minim terhadap aksi-aksi kekerasan. Ini perubahan penting tetapi juga problematik dari sisi estetika dongeng karena kekerasan dalam dongeng kadang menjadi bumbu atau daya tarik bagi penikmat dongeng,” ujar Darma Putra.
Memang, diakui Darma Putra, ada pandangan yang menyebut dongeng harus bebas dari kekerasan. Pandangan ini mungkin dikaitkan dengan era sekarang yang antikekerasan. Namun, menghilangkan kekerasan dalam dongeng seperti memosisikan anak-anak penikmat dongeng sebagai penikmat pasif. “Padahal, sekarang hampir tidak ada penikmat pasif. Anak-anak sekarang kritis terhadap dongeng. Dalam konteks cerita, kekerasan atau konflik merupakan daya tarik dongeng,” kata Darma Putra.
Kesadaran untuk menggunakan bentuk sastra dongeng sebagai pembentukan karakter bangsa tidak hilang tetapi justru makin berkembang. Kreativitas pelestarian dongeng berkembang ke arah baru, dengan gerakan menulis dongeng sesuai tema aktual sekarang, seperti menjaga hutan, olah raga yuk, dan antikorupsi.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan continuity in change, berlanjut dalam perubahan: tema berubah tapi unsur hiburan dan pesan moral dongeng tetap kental. Tugas para orang tua untuk memilih, memilah, dari demikian banyak dongeng untuk mendidik karakter anak-anak bangsa.
“Kita harus terbuka dengan berbagai kemajuan dengan berbagai perubahan. Beginilah keadaan sekarang. Dongeng-dongeng baru kita baca dan kita tuturkan kepada anak-anak kita sekarang,” kata Darma Putra.
Mareeta Wahyuni mendorong para guru PAUD mengkampanyekan kegiatan mendongeng di kelas dalam setiap pertemuan. Menurut Mareeta, dongeng kaya dengan pesan pendidikan karakter. Karena itu, guru-guru PAUD kini dibekali teknik mendongeng yang baik dan mudah dipahami anak-anak.
Made Suarta menekankan pentingnya peran dongeng dalam pembentukan karakter anak, termasuk menanamkan sikap toleran sehingga bisa mencegah bibit-bibit radikalisme di tengah masyarakat. Suarta yang juga penari arja ini menilai satua-satua Bali sebagai dongeng khas Bali perlu direvitalisasi untuk memperkuat karakter anak di era globalisasi seperti sekarang.
“Modernisasi perlu kita terima, tetapi tidak sampai meninggalkan makna hakiki satua-satua Bali itu sebagai pembentukan karakter anak,” tandas Suarta. (jay)
[tulisan Sujaya yang dimuat di Denpost, 31 Maret 2019)