Perjalanan yang mempesona ke Sumba, Nusa Tenggara Timur, adalah saat meninjau kampung untuk melihat keindahan arsitektur rumah adat yang unik daerah ini. Kampung adat yang kami kunjungi adalah Prai Ijing, terletak sekitar 4 km dari Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat.
Jalan menuju tempat ini halus mulus. Begitu juga di lokasi rumah adat. Tampak bahwa pemerintah setempat memperhatikan sekali aksesibilitas lokasi rumah adat Prai Ijing. Perjalanan ke tempat itu menjadi nyaman, lancar. Alam hijau sepanjang perjalanan menjadi bonus buat mata pengunjung.
Rumah adat Sumba disebut Uma Bokulu atau Uma Mbatangu. Arsitektur bangunan adat di sini menakjubkan sekali. Bentuk arsitekturnya khas, menggunakan atap alang-alang, mengerucut ke atas seperti menara. Rumah menara ini disebut dengan Uma Mbatangu.
Memasuki wilayah Prai Ijing, wisatawan disambut alam yang indah, belantara hijau. Ada banyak pohon bambu, dan kayu-kayuan di sana. Selain itu, di sana-sini terdapat batu-batu besar dari zaman lampau.
Di desa Prai Ijing terdapat sekitar 20 rumah adat. Konon sebelumnya lebih banyak dari itu, beberapa ludes karena insiden kebakaran. Arsitektur berbahan alang-alang, kayu, bambu memang mudah terlalap api. Terlebih di rumah adat itu, ada kegiatan memasak, di mana api riskan memantik.
Beberapa kali terbetik berita tentang kampung adat dilalap api, seperti kampung Tarung yang terjadi Oktober 2017. Salah satu kampung adat terindah di Sumba itu kini masih dalam proses pembangunan ulang, yang cukup kompleks karena berisi rangkaian ritual sesuai dengan sistem kepercayaan setempat.
Untuk melindungi dari bencana kebakaran yang parah, pembangunan kembali rumah adat Sumba ada gagasan untuk melengkapinya dengan sistem instalasi listrik dan air yang dapat mencegah keparahan jika terjadi lentikkan api.
Teguh Pelihara Tradisi
Keteguhan masyarakat memelihara tradisi, adat, budaya, membuat mereka mempertahankan rumah adat mereka. Di Sumba terdapat banyak kampung adat dengan rumah tradisional dengan arsitektur serupa, berbentuk menara.
Bangunan modern di kota banyak yang menggunakan arsitektur rumah tradisional sebagai mahkota. Rumah Menara menjadi ikon arsitektur Sumba.
Rumah tradisional ini dibangun bertingkat tiga. Paling bawah untuk ternak, dan juga memasak. Ketika berkunjung ke sana, saya lihat ada tungku menyala di lantai bawah, mungkin memasak makanan ternak. Bagian tengah untuk penghuni dan bagian atas untuk menyimpan makanan.
Rumah menara dibangun dengan pilar beton. Kalau dulu, sebelum ada beton, katanya pilar terbut dari bambu besar. Di sekitar desa Prai Ijing terdapat hutan bamboo yang bambunya cukup besar, yang merupakan sumber bahan bangunan. Dinding dan lantai rumah terbuat dari kayu atau bambu. Kayu-kayunya pun kiranya diambil dari belantara sekitar desa.
Daya Tarik Wisata
Rumah tradisional Sumba menjadi daya Tarik wisata yang memikat di Sumba. Selain memiliki alam indah, pantai dan air terjun, keunikan arsitektur Sumba dengan adat dan buayanya menjadi daya tarik wisata yang kuat daerah ini.
Ketika berkunjung ke Kampung Prai Ijing, kami melihat wisatawan berdatangan ke tempat ini. Walaupun belum banyak sekali, tetapi tampaknya ada saja yang datang. Saat kami datang, ada tamu dari Jakarta, dari Bali, dan ada juga wisatawan asing.
Di depan pintu masuk, terdapat loket tiket yang bentuknya seperti bangunan Menara. Di sana wisatawan dimohon untuk mengisi buku tamu. Bukunya cukup tebal, banyak terisi tanda tangan, petanda aliran wisatawan datang ke tempat ini.
Di dunia maya, popularitas Prai Ijing dan kampugn adat Sumba lainnya luar biasa. Banyak artikel dan berita tentang keunikan arsitektur ini. Tidak mengherankan, kalau kampung adat Sumba akan kian memikat wisatawan di masa depan.
Harga tiket masuk turis domestik ke Prai Ijing adalah Rp 20.000/ orang, ongkos parker modil adalah Rp 10.000. Kami menyerahkan Rp 50.000 sebagai ongkos tiket masuk untuk dua orang dan biaya parkir.
Saya ke Sumba Barat 25-26 Februari 2019 untuk kegiatan pendidikan dan latihan (diklat) yang dilaksanakan Pemkab Sumba Barat dengan Badan Pembinaan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Bali. Saya berangkat dengan Prof. Dr. Nengah Dasi Astawa, dosen Undikas University Denpasar sekaligus Ketua LLDikti Bali (nama baru Kopertis).
Kami berdua memberikan materi tentang dasar-dasar kepariwisataan dan beberapa isu strategis terkait kepariwisataan. Acara kegiatan diklat berlangsung di Hotel Pelita, Waikabubak.
Tidak jauh dari hotel tempat kegiatan, terletak kampung adat Prai Ijing. Setelah selesai melaksanakan tugas, kami menyempatkan diri berkunjung ke kampung adat Prai Ijing.
Menurut Prof. Dasi, potensi pariwisata SUmba hebat sekali, julai dari keunikna arsitektur, tradisi, alam, dan lokasinya strategis. “Mudah dijangkau dari Bali yang sudah punya nama besar di kalangan wisatawan. Dalam satu jalur dengan destinasi kelas dunia Pulau Komodo,” ujar Prof. Dasi.
Kini memang Sumba masih seperti Bali tahun 1970-an. Menurut Prof. Dasi, jika SDM dan kelembagaan segera ditata untuk mencurahkan perhatian pada pembangunan pariwisata, Sumba akan meroket.
“Sumba akan maju pesat, berkembang bersama destinasi lainnya di Nusantara,” tambah Prof. Dasi.
Sebagai pulau yang tidak padat penduduknya, Sumba masih lengang. Buktinya, jalanan dari Waikabubak ke Bandara Tambolaka di Kabupaten Sumba Barat Daya lancar, tidak ada macet sama sekali.
Pemandangan perdesaan yang hijau indah sekali. Walau udara panas, angin semilir, alam hijau, dan tiada polusi membuat suasana nyaman dan mengesankan.
Penerbangan dari Bali ke Sumba memakan waktu satu jam. Maskapai penerbangan Garuda dan Nam Air melayani jalur Bali-Sumba, dihubungkan dengan jalur Kupang atau destinasi lainnya di Nusa Tenggara Timur.
Akses dari Bali ke daerah ini sudah tersedia, dan tidak lama lagi, Sumba akan berkembang menjadi destinasi wisata yang diminati banyak orang. Saat terbang ke Sumba dan balik ke Bali, kursi pesawat sama-sama penuh, termasuk di antaranya ada wisatawan asing (Darma Putra).