Dari kanan ke kiri: Prof. I Nyoman Darma Putra, Dr. Dayu Tari Puspa (moderator), Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna, M.Si. , dan Dr. I Nyoman Jampel.

AIR dalam pandangan masyarakat Bali Hindu tidak hanya penting untuk memenuhi fungsi fisikal, melainkan juga memiliki fungsi religius. Pengetahuan dan ranah tentang air belum optimal dalam praksisnya karena mode (cara) yang dikembangkan lebih kepada arti penting ritus daripada fungsi ritus sebagai pembentuk kebiasaan.

Diperlukan penjabaran hal-hal normatif ke bentuk praksis berupa strategi perilaku dan tindakan untuk menjaga kelestarian air di Bali.

Hal tersebut mengemuka dalam Sarasehan “Ulun Danu: Representasi Peradaban Air” di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, Kamis (29/6). Sarasehan yang digelar serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-39 ini dibuka oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika. Hadir pula dalam kesempatan ini Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bali, I Made Dharma Suteja, dan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Dewa Putu Beratha.

“Anggapan pentingnya kedudukan air sebagaimana tertuang dalam berbagai kitab suci serta dilaksanakannya ritus-ritus untuk memperkuat pentingnya kedudukan air, tampaknya belum memiliki signifi kansi optimal dengan pelestarian air secara keseluruhan,” kata Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna, M.Si. selaku salah satu dari tiga pemakalah dalam sarasehan tersebut.

Ia memaparkan, banyak air dan zona air (kelebutan, pancoran, danau, sungai, dna lautan) tidak terpelihara, malahan hanya diperhatikan saat diperlukan. Upacara yang dilaksanakan untuk memuliakan hutan (wana kerthi) maupun memuliakan air (sagara kerthi, nyepi laut) misalnya, hanya diketahui dan dipahami oleh lingkungan terbatas dan terdekat. Jikapun banyak anggota masyarakat yang datang menghaturkan persembahan, berdoa, dan memberikan dana punia untuk acara semacam itu, namun tetap saja yang menjadi alasan penting dari kehadiran warga pada acara dimaksud adalah sembahyang kepada Ida Sang Hyang Widihi, bukan memuliakan hutan, danau, atau laut.

Oleh karena itu, menurutnya, perlu dibangun karakter keseimbangan antara ritual dan praksis. “Upacara wana kerthi, sagara kerthi, yang dilaksanakan, siapa yang tahu makna di balik itu? Yang tahu hanya sulinggih, pemangku, pengurus majelis agama, dan pemerintah. Ada missing link di sana,” ujar Yudha Triguna.

Dua pemakalah lainnya adalah Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Lit dan Dr. Nyoman Jampel, M.Pd. Dalam pemaparannya, Darma Putra menyampaikan, wacana krisis air di Bali sudah muncul agak lama, terutama sejak berkembang luasnya pariwisata di Bali selatan. Penelitian tentang air yang dilakukan oleh ahli lingkungan menemukan air tercemar, sumur penduduk terintrusi air laut, pantai tercemar, lapangan golf rakus air, dan seterusnya.

“Namun, tidak ada angka pasti mengenai potensi air yang dimiliki Bali, angka kebutuhan progresif atau kebutuhan proyektifnya, sehingga tidak begitu jelas apakah pernyataan ‘Bali mengalami kekurangan air’ itu fakta atau fiksi,” ujar Darma Putra.

Ia menjelaskan, industri pariwisata sering dijadikan kambing hitam sebagai penyebab krisis air. Memang pemakaian air di industri pariwisata jauh lebih besar daripada pemakaian air di rumah tangga, namun kenyataan menunjukkan bahwa Bali tidak pernah krisis air secara sesungguhnya.

“Bukan berarti Bali bebas dari krisis air tingkat awal, lalu dapat menggunakan air secara boros. Tidak. Kalau pun terjadi kekurangan supply air, itu terjadi bukan karena sumber daya air terbatas tetapi masalah tata kelola atau manajemen,” jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, tepat kiranya pernyataan Stroma Cole bahwa kalau krisis air terjadi itu lebih dari fenomena sosial-politik dan memerlukan solusi kebijakan publik. Wisatawan bisa diajak berpartisipasi untuk mengkorservasi air sebagai bagian dari pelestarian planet bumi secara global. Masyarakat, pengelola usaha, investor, dan unsur pemerintahan yang bertanggung jawab pada tata kelola air perlu secara terus-menerus memikirkan, menghayati, dan mengamalkan perlunya kebiasaan menghemat pemakaian sumber daya air.

“Jangan sampai kita salah langkah mengambil keputusan seperti ikanikan di telaga Kumudasara yang ditipu bahwa kolam akan kekurangan air, padahal itu hanya jebakan bangau rakus untuk memangsa ikan-ikan. Jangan sampai isu krisis air di Bali digunakan bangau-bangau rakus untuk menjatuhkan industri pariwisata Bali,” ucapnya.

Ketua Pelaksana Sarasehan, I Made Dharma Suteja, mengatakan, sarasehan ini diikuti sekitar 300 peserta dari berbagai kalangan. Melalui kegiatan diharapkan mampu merefleksikan pemulihan air sumber kehidupan, penghidupan dan peradaban. Ia menjelaskan, dinamika Peradaban Air di era kekinian dihadapkan pada tiga kecenderungan yakni benturan, sinergi, dan pemberdayaan. Benturan terkait dengan konfl ik sosial dalam pemanfaatan air diantara multi kepentingan; polusi, terkait dengan pencemaran air dan alam; hegemoni, terkait penguasaan sumberdaya air dalam kehidupan.

Kemudian sinergi, terkait link age dan kerja sama lintas bidang yang belum optimal. Sedangkan pemberdayaan, terkait pemanfaatan secara efektif sumber daya air bagi kehidupan, penghidupan, dan peradaban dengan paradigma dan manajemen yang inklusif, efektif dan berkelanjutan sejalan dengan tujuan SDGs. rap

sumber: https://www.posbali.id/dari-sarasehan-ulun-danu-representasi-peradaban-air/