Hari Raya Nyepi mulai menjadi alat promosi. Hal ini bisa dilihat dari iklan-iklan di koran lokal yang muncul yang menawarkan ‘Nyepi Package’, yaitu paket berlibur di hotel pada saat hari raya Nyepi. Ada juga iklan di LCD di sebuah pojok perempatan kota Denpasar yang berlogo “NYEPI SALE”.
Nyepi adalah hari suci umat Hindu yang dirayakan dengan unik yakni, tidak bekerja (amati karya), bepergian (amati lelungan), tidak menyalakan api (amati gni), dan tidak menikmati hiburan (amati lelanguan). Keempat pantangan itu disebut dengan catur berata penyepian.
Saat perayaan Nyepi, jalanan di Bali sepi senyap, malam hari gulita karena tidak ada lampu. Bagi banyak orang, terutama non-Bali, melewati Nyepi dalam empat larangan itu mungkin berat. Tidak mengherankan, kemudian hotel-hotel di Denpasar menawarkan paket berlibur di hotel. Hari Nyepi, seperti juga hari suci atau hari aya agama lainnya, dijadikan sarana untuk promosi. Atau, media untuk komersialisasi.
Melihat fenomena komersialisasi hari raya demikian, muncul imbauan ‘dilarang komersialkan Nyepi’. Imbauan itu menjadi judul berita koran Radar Bali (Jawa Pos Group) (22 Maret 2017).
Dalam berita tersebut dikutip pernyataan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika yang menghimbau agar masyarakat merayakan Nyepi dengan baik dan tidak mengkomersialkan karena Nyepi itu sakral.
Pastika dikutip mengatakan bahwa jangan sampai Nyepi di hotel diisi dengan pesta-pesta. Katanya lagi “Saya juga nggak setuju kalau ada orang Bali yang sengaja Nyepi-nya di hotel, ‘kan lucu.” (Radar Bali, 23 Maret 2017).
Ada banyak imbauan tentang Nyepi yang diturunkan dalam berita tersebut (lihat foto). Namun, koran yang memuat berita tersebut pada saat yang sama memuat iklan paket Nyepi di halaman lain (lihat foto).
Komodifikasi bukan Hal Baru
Fenomena memperdagangkan sesuatu sebelumnya tidak dianggap bernilai bisnis disebut dengan komodifikasi. Dalam kehidupan dewasa ini, berbagai hal diperjualbelikan, termasuk organ manusia, misalnya ‘ginjal’.
Melakukan perjalanan suci dalam tradisi agama, dengan penawaran paket, juga dianggap sebuah fenomena komodifikasi.
Menjadikan hari raya sebagai alasan untuk promosi atau menjadi paket dagang pun bukan hal baru. Setiap menjelang Hari Natal, misalnya, di tokoh-toko di dalam negeri dan luar negeri menjadikan hari raya itu sebagai saran promosi, misalnya ‘Christmas Sale’.
Kalau ‘New Year Sale’ itu biasa, tidak sakral, tapi kalau ada ‘Galungan dan Kuningan Sale’, mungkin bagi sebagian orang sulit diterima. Lalu ada ‘Nyepi Sale’.
Hal yang sama juga terjadi dengan hari raya lain. Hari raya seolah identik dengan hari untuk belanja.
Untuk hari raya Nyepi, penawaran paket berlibur tahun 2017 ini bukanlah hal yang baru. Tahun-tahun sebelumnya sudah terjadi. Setiap ada fenomena penawaran paket dagang dengan menjadikan Nyepi sebagai alasan, selalu ada respon balik atau larangan yang bersifat imbauan.
Walaupaun imbauan larangan terjadi, penawaran jalan terus. Peran media dalam hal ini cukup menarik dan terasa kontradiktif, di satu pihak memuat berita ‘larangan komersialisasi Nyepi’, di lain pihak memuat iklan paket Nyepi.
Di era kemajuan teknologi informasi, terutama internet, promosi Nyepi tidak saja muncul di koran atau media cetak, tetapi juga lewat pesan WA atau BBM.
Promosi juga dilakukan lewat media promosi out door seperti TV LCD di jalan raya. Di LCD yang terpasang di pojok simpang Suci, Denpasar, terpasang iklan dengan tag line “NYEPI SALE”, aneka produk ditawarkan mulai dari HP sampai dengan arloji tangan.
Dunia bisnis memang memanfaatkan apa saja untuk melakukan promosi dan meningkatkan penjualan. Imbauan larangan dicetuskan, tapi promosi tetap jalan, seperti pepatah ‘anjing menggongong kafila berlalu’.
Bagi sebagian orang, godaan belanja, promosi, obral dan sejenisnya saat hari raya adalah hal positif untuk orang ‘menahan diri’. Godaan itu bisa mengingatkan orang untuk mengendalikan diri merayakan agama dengan jalan suci, bukan justru belanja, apalagi berfoya-foya. Siapa mampu melawan iklan, siapa mampu melawan godaan, niscaya mampu merayakan hari suci dengan sejati.
Memang, semua tergantung dari cara pandang. (dp)