Setiap menjelang perayaan Nyepi, Tahun Baru Icaka, koran Bali Post menurunkan Tajuk Rencana tentang Nyepi. Lewat tulisan itu, koran sebagai pembentuk opini masyarakat menyampaikan pesan yang dianggap penting bagi masyarakat untuk direnungkan.
Membaca Tajuk Rencana mereka, kita bisa mengerti, apa yang penting dan mendesak diungkapkan saat itu; bagaimana situasi sosial masyarakat yang menjadi titik tolak pesan sosial itu.
Kebetulan saya mendapatkan Tajuk Rencana koran Suara Indonesia (nama lama Bali Post) yang terbit 2 Maret 1965 (sehari menjelang Nyepi), dan Tajuk Rencana Bali Post yang terbit Jumat, 20 Maret 2015, juga sehari menjelang Nyepi. Kedua ulasan Tajuk Rencana koran ini ternyata menyampaikan pesan yang bertolak dari spirit yang sama yaitu perayan Nyepi atau Tahun Bari Icaka sebagai momentum untuk introspeksi.
Meski spiritnya sama, istilah yang digunakan berbeda, dan konteks sosial yang menjadi latar belakang penulisannya pun terang berbeda. Seperti apa?
Selfkoreksi dan Mulat Sarira
Walau spirit yang digemakan sama-sama ihwal introspeksi, istilah yang digunakan berbeda. Tajuk Rencana yang dimuat koran Suara Indonesia (nama lama Bali Post) menggunakan istilah ‘selfkoreksi’, sedangkan koran Bali Post dalam Tajuk Rencana-nya yang dimuat sehari menjelang Hari Nyepi 2015 menggunakan istilah “mulat sarira”.
Keduanya bersinonim untuk menegaskan arti penting melakukan introspeksi. Bedanya, istilah pertama berasal dari bahasa Inggris, yang kedua dari bahasa Bali. Dulu, kegandrungan memakai bahasa asing tampak kuat, mungkin kena pengaruh Presiden Sukarno yang sering dengan fasih menyelipkan bahasa atau istilah-istilah asing dalam pidatonya. Kini, dalam suasana menguatnya identitas kedaerahan, dalam suasana promosi Ajeg Bali, penggunaan bahasa Bali yang menguat.
Tajuk Rencana untuk Nyepi 1965 berisi saran dan juga sentilan perlunya semua lapisan masyarakat untuk melakukan selfkoreksi. Tanpa selfkoreksi, tujuan revolusi tidak akan tercapai. Datangnya Tahun Baru Caka merupakan masa yang baik untuk selfkoreksi agar tercapai cita-cita revolusi bangsa dan negara.
Pesan pentingnya selfkoreksi dalam kaitan cita-cita bangsa dan suasana politik waktu itu bisa dibaca dalam kutipan berikut:
“Mudah-mudahan ini direnungkan di dalam kita memasuki tahun baru Icaka, di dalam meningkatkan bakti meneruskan revolusi Indonesia di atas dasar garis Manipol/USDEK”
Manipol/USDEK adalah selogan dan istilah politik Presiden Sukarno. Manipol berarti ‘menipesto politik’, sedangkan USDEK singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Inilah tafsir otoritatif Presiden Sukarno atas Pancasila. Masyarakat diingatkan untuk selalu ingat dan setia pada cita-ciita dan gerakan politik Bung Karno.
Di dalam Tajuk Rencana itu tersurat peringatan agar sesama warga masyarakat atau kelompok tidak saling menyalahkan, tidak saling lempar tanggung jawab. Tidak boleh mengklaim diri benar, sebaliknya orang lain salah. Kalau itu dilakukan, akibatnya adalah ‘cekcok’. Tujuan revoljsi bangsa dan negara tidak akan tercapai.
Peringatan di atas bisa dilihat sebagai suasana tidak akurnya dua kekuatan besar pada zaman itu, yaitu antara PKI dan PNI. Di Bali, konflik keduanya terkenal tajam, dan akibatnya bisa dilihat dari kerasnya pengganyangan orang yang diduga terlibat atau pro-PKI pascagerakan 30 September 1965.
Jika pesan dalam Tajuk Rencana disimak, jelas bisa dibayangkan adanya polarisasi kelompok pada saat itu. Sebagai media yang mencoba adil dan objektif, Suara Indonesia, menggaungkan pesan ‘selfkoreksi’. Andaikan pesan Nyepi ‘selfkoreksi’ itu diwujudkan secara tulus ikhlas, bisa jadi pemberangsun tahun 1965/66 tidak seganas yang telah terjadi.
Kondisi Sosial Berbeda
Pada tahun 2015, kondisi sosial politik bangsa dan di Bali berbeda dengan apa yang terjadi lima puluh tahun sebelumnya. Dewasa ini, Bali dan juga daerah lain di muka bumi menghadapi berbagai persoalan lingkungan dan energi.
Polusi terjadi di mana-mana, krisis energi menjadi wacana hangat. Kemiskinan merupakan paradok kemajuan, dan ini juga terasa di Bali. Kerusakan lingkungan mengancam di berbagai tempat, dan di Bali hal itu sering digaungkan dengan menjadikan contoh rencana proyek reklamasi Teluk Benoa sebagai bentuk investasi yang dinilai akan merusak alam Bali.
Menulis Tajuk Rencana dalam situasi sosial politik dan ekonomi demikian, Bali Post tampil mengguanakan istilah yang tidak jauh berbeda dengan yang digunakan pendahulunya tahun 1965, yaitu spirit instrospeksi. Hanya saja istilah yang digunakan bnukan ‘selfkoreksi’, tetapi “mulat sarira”, bahasa Bali yang artinya melakukan refleksi diri, sinonim dengan introspeksi.
Pada halaman depan koran Bali Post edisi Jumat, 20 Maret, istilah mulat sarira digunakan beberapa kali, boleh dikatakan sebagai ‘kata kunci’ pesan Nyepi tahun 2015. Konsep mulat sarira dijadikan landasan untuk mendorong masyarakat agar dalam perayaan Nyepi khususnya pembuatan serta pengarakan ogoh-ogoh jangan sampai berlebihan. Untuk apa membuat ogoh-ogoh mahal-mahal jika masih banyak rakyat miskin. Untuk apa menggunakan gabus membuat ogoh-ogoh kalau jenis styrofoam itu susah hancur dan berakibat buruk pada lingkungan.
Kedua kepedulian itu diangkat dengan lugas untuk mendorong masyarakat Bali melakukan introspeksi, mulat sarira. Introspeksi penting untuk mengevaluasi lakon hidup setahun sebelumnya, agar ke depan bisa menjadi lebih baik.
Tajuk Rencana 2015 juga mengangkat point tradisi Nyepi sebagai praktik bernilai universal karena memberikan sumbangan yang praktis dan positif pada kehidupan modern terutama dalam gerakan pelestarian lingkungan dan hemat enegri. Nyepi sehari adalah tindakan nyata menghemat energi dan mengurangi polusi udara (dan suara deru mobil).
Nasional dan Global
Disebutkan dalam Tajuk Rencana itu bahwa inspirasional Nyepi nyata terlihat dalam acara car free day, gaya hidup modern yang rekreasional sekaligus peduli pada pelestarian lingkungan. Di berbagai kota, acara car free day berarti kombinasi antara gerakan menghemat energi (BBM), mengurangi polusi, gerakan olah raga dan rekreasi, serta peduli lingkungan.
Pesan perayaan Nyepi dari tahun ke tahun tetap bertumpu pada spirit instrospeksi, tetapi karena konteks sosial budaya berbeda, maka spirit yang sama tampak berbeda pula. Kalau pesan ‘selfkoreksi’ tahun 1965 menyiratkan pesan sosial politik yang tajam, pesannya pada peran Bali dalam pembangunan sosial politik nasional, sedangkan ‘mulat sarira’ lebih bersifat penekanan pada kontribusi Bali dalam pembangunan global, universal.
Seperti apakah ke depan lagi? (Darma Putra)