Oleh Raka Santeri

penjor

UMAT HINDU, khususnya di Bali, kini berada dalam tantangan zaman. Di satu pihak, tradisi beragama di Bali masih ketat mengacu pada peninggalan masa lalu. Di lain pihak, Bali yang telah dianggap menjadi Pusat Hindu Dunia, harus mampu menjadikan dirinya teladan dalam kesederhanaan menjalankan ajaran-ajaran agama. Bahkan manusia Bali dituntut mampu menjadikan diri mereka intelektual-intelektual berkarakter Hindu.

Tetapi kenyataan yang kita hadapi sampai saat ini adalah umat Hindu yang suka jor-joran dalam upacara, sampai menelan beaya miliaran rupiah. Sebuah berita di koran ini (4/10) menyebutkan rangkaian pujawali di Pura Batur, Kecamatan Baturiti, Tabanan, telah menelan biaya hampir Rp. 1 miliar. Biaya sebesar itu berasal dari masyarakat yang mereka cicil sejak 2 tahun lalu. Meskipun demikian, warga setempat konon tidak merasa terbebani.

Masalahnya sekarang bukanlah pada mampu atau tidak mampunya masyarakat Hindu di Bali melakukan upacara besar-besaran. Tetapi bagaimana umat Hindu menghadapi persaingan masa depannya, baik dalam kwalitas peribadi maupun dalam kwalitas dan pelaksanaan ajaran agamanya. Benarkah untuk menjadi seorang Hindu harus bersusah payah membuat sesajen serta menghabiskan biaya besar? Benarkah Tuhan-nya orang Hindu akan marah kalau tidak dibuatkan sesajen seperti yang selama ini telah diwariskan oleh para leluhur mereka?

Catatan yang kita peroleh dari Wikipedia menunjukkan jumlah penganut Hindu di Indonesia telah menurun dari 1,81% pada tahun 1990 menjadi 1,79% tahun 2000. Sedangkan di Bali sendiri juga menurun dari 93,18% pada tahun 1990 menjadi 88,05% tahun 2000. Pada sebuah desa di luar Bali bahkan umat Hindunya hanya tinggal 4 (empat) orang tua, dari semula 20 KK. Seharusnya mereka kini berjumlah sekitar 200-an orang, jika tidak banyak yang beralih memeluk agama lain.

Kebanyakan di antara mereka yang beralih agama dari Hindu ke agama lain beralasan, upacaranya yang terlalu “ribet” (sulit) dan beayanya mahal. Apalagi jika warga desa adat ikut membebani, dengan awig-awig (peraturan) desanya. Maka lengkaplah alasan mereka yang kurang teguh imannya, untuk beralih ke agama lain.

Hindu itu Meringankan
Jumlah pemeluk Hindu akan terus semakin berkurang jika umatnya tidak mampu bersaing di masa depan. Persaingan yang harus dimenangkan oleh umat Hindu adalah: 1. Pendalaman ajaran-ajaran agama yang sesungguhnya sangat luas tetapi rasional, dan meringankan. 2. Penyederhanaan upacara serta mengalihkan dana upacara ritual ke “uparara” bagi kesejahtraan manusia Hindu. 3. Pelaksanaan Tri Hita Karana secara sunggguh-sungguh.

Pendalaman agama Hindu (khususnya dalam filsafat/tattwa) nampaknya masih kurang diminati oleh umat Hindu. Kebanyakan yang mereka dalami adalah ritualnya, sehingga tercipta suasana jor-joran dalam melakukan upacara-upacara agama. Padahal inti sari ajaran Hindu sudah menyediakan beberapa cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Disamping secara ritual (dengan hanya daun, bunga, buah, air, dan api/dupa), juga bisa dengan jalan kerja (karma yoga), dengan jalan ilmu pengetahuan (jnana yoga), dengan jalan meditasi (raja yoga), yang semua dasarnya adalah bhakti (kecintaan yang penuh) kepada Tuhan.

Dengan mengikuti berbagai jalan itu, atau mengkombinasikan berbagai jalan itu, maka ritual tidak diperlukan lagi terlampau besar. Ritual hanya akan berfungsi sebagai alat bantu, bukan “yang utama” seperti sekarang ini. Biaya upacara yang besar lalu bisa dialihkan menjadi “dana sosial” bagi pendidikan, panti jompo, bantuan bagi pedagang kecil, dan sebagainya. Itulah yang sesungguhnya disebut “manusa yadnya”, korban suci kepada manusia, korban suci bagi kehidupan masa depan umat Hindu.

Jika sudah demikian, maka Tri Hita Karana (THK) akan dapat kita laksanakan dengan lebih mantap lagi. Pertama, hubungan manusia Hindu dengan Tuhannya bisa lebih langsung dan mantap, karena bukan “ritual” lagi yang jadi perantara, tetapi langsung jiwa dan hati nurani.

Kedua, hubungan manusia dengan manusia juga menjadi lebih kokoh dan lancar, karena setiap manusia Hindu yang cerdas (walaupun miskin) tidak akan terputus pendidikannya karena dukungan dana sosial yang besar.

Ketiga, hubungan manusia dengan alam lingkungannya juga menjadi tumbuh subur dan kuat, karena umat Hindu meyakini dirinya adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Dirinya (bhuwana alit) adalah bagian dari alam semesta (bhuwana agung). Dan jiwanya (atman) adalah bagian dari jiwa semesta (Brahman). Itulah hakekat ajaran Hindu yang terdalam.

* Raka Santeri, wartawan.