Pesona patung Catur Muka saat pembukaan Denfest 2012 (foto Darma Putra)

Untuk pertama kalinya setelah berusia 40 tahun, Patung Catur Muka yang berdiri di pusat Kota Denpasar dibersihkan. Patung ini dibangun tahun 1972 oleh seniman I Gusti Nyoman Lempad. Sejak itu, patung yang menggantikan posisi jam Lonceng peninggalan kolonial Belanda itu tidak pernah dirawat sehingga lumutan.

Pembersihan, dan penyempurnaan dasar patung dengan bata-merah rampung Desember 2012, sehingga Patung Catur Muka tampak kelihatan segar dalam acara pembukaan Denpasar Festival, 28 Desember 2012. Hiasan air mancur yang muncrat dengan warna-warni malam hari membuat patung tampak indah.

Dasar patung dengan batu-merah merupakan style yang dianggap khas Denpasar (bebadungan). Namun dasar batu-merah ini melenyapkan detil ukiran dan hiasan dasar-lama. Di dasar-lama terdapat ukir-ukiran fragmen seperti kisah Lubdaka, dipetik dari kisah Siwalatri, malam Siwa.

Hiasang Lubdaka di dasar bagian teengah.
Hiasan Lubdaka di dasar bagian tengah di sebelah ukiran karang kala.

Buku kecil berjudul Patung Empat Muka (Catur Mukha) yang diterbitkan Pemkab Badung dengan pengantar Bupati I Wayan Dhana menguraikan penjelasan tentang filosofis, struktur bangunan patung, materi bangunan. Khusus untuk yang berkaitan dengan kisah Lubdaka, dijelaskan ketika menguraikan  bagian dasar patung, ukuran, dan hiasannya.

Dasar landasan patung dengan ukuran bujur sangkar 3,80 x 3,80 meter terdiri dari tiga bagian yaitu dasar bawah, dasar madya (tengah), dan dasar teratas. Dasar bawah setinggi 0,66 meter adalah simbol tanah dengan tujuh lapisan dikenal dengan nama Sapta Patala; dasar madya setinggi 1 meter yang dihias dengan ukiran karang Khala dan Bhuta, serta sudut-sudutnya pepalihan takep gula (susunan yang sama, berpadu dengan bentuk sama),  dan dihias dengan suatu cerita Sang Lubdaka; dan dasar teratas disebutkan sebagai Saptaloka.

Dalam buku itu dijelaskan bahwa Sang Lubdaka adalah ‘orang yang mempunyai mata penghidupan dengan jalan berburu dan membunuh binatang buronan, yang pada akhir hidupnya juga dapat mencapai sorga’. Ini menjelaskan, tulis buku itu lebih lanjut, ‘mengiaskan atau symbolisnya ‘Madya Pada’ ini yang penuh dengan kehuru-haraan, kemiskinan, kesenangan dan kesedihan, dll’.

Catur Muka sebelum direnovasi, sebelum air mancur tinggi.
Catur Muka sebelum direnovasi, sebelum air mancur tinggi warna-warni malam hari (Internet).

Dengan renovasi dasar patung, hiasan asal menjadi berubah, beberapa filosofis yang mendasari pembuatannya dulu lenyap. Tak tampak lagi fragmen Lubdaka di dasar patung. Kini air mancur yang lebih memikat hati pengunjung atau masyarakat yang lewat (Darma Putra).