Kompas Minggu, 1 April 2012 | 03:53 AM
• Judul: A Literary Mirror: Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century• Penulis: I Nyoman Darma Putra • Penerbit: Leiden, KITLV • Cetakan: I, 2011 • Tebal: xiv + 378 halaman • ISBN: 978-90-6718-370-3
Free download: A Literary Mirror
Seni sastra tumbuh subur di Bali, tetapi umumnya yang dikenal adalah seni sastra klasik, seperti sastra tradisional Bali atau Jawa Kuna. Jarang sekali orang mengenal bahwa Bali juga ladang luas tempat tumbuh suburnya sastra Indonesia modern sejak dulu sampai sekarang. Thomas M Hunter
Buku karya I Nyoman Darma Putra ini memperkenalkan kepada kita betapa subur dan semaraknya kehidupan sastra Indonesia di Bali sejak zaman kolonial. Menguak sejarah perkembangan sastra secara detail sejak tahun 1920-an sampai 2000 dan menganalisis tema-tema dominan yang muncul-berulang dalam cerpen, puisi, drama, dan novel karya-karya penulis Bali.
Buku yang merupakan penyempurnaan dari disertasi ini adalah karya pertama yang menulis secara meyakinkan kehadiran dan perkembangan sastra Indonesia di Bali secara menyeluruh. Dalam konteks kajian Baliologi yang banyak dilakukan kalangan antropolog Barat, buku Darma Putra memberikan sumbangan baru karena penelitian aspek sastra modern di Bali tidak banyak tersentuh.
Kajian Darma Putra merupakan inspirasi dari era reformasi yang memberikan semangat baru dalam cara memandang kekayaan sastra daerah, yang pernah diistilahkan sebagai ’sastra pedalaman’. Buku ini ’melawan’ atau ’melengkapi’ kecenderungan kajian sastra Indonesia yang berorientasi pada ’Pusat’ yang subur pada era Orde Baru. Pengamat sastra Indonesia, seperti dikutip Darma Putra dalam buku ini, baru mengakui peran dan kontribusi Bali dalam pertumbuhan sastra Indonesia sejak tahun 1990-an.
Padahal, analisis historis buku ini dengan meyakinkan menunjukkan bahwa sastra Indonesia sudah berkembang luas di Bali tahun 1920-an, bersamaan waktunya dengan perkembangan sastra Indonesia yang kerap disebut lahir tahun 1920-an. Kalau dulu kontribusi Bali hanya dihargai lewat karya Panji Tisna dan Putu Wijaya yang terbit di Pusat, buku ini menunjukkan banyak nama penting yang pantas dicatat, seperti Rasta Sindhu, IGB Arthanegara, Raka Santeri, dan nama-nama baru seperti Aryantha Soethama, Oka Rusmini, Fajar Arcana, Warih Wisatsana, Cok Sawitri, dan Alit S Rini.
Intertektualitas dan historisisme baru
Darma Putra membagi sejarah sastra Indonesia di Bali dalam empat periode, yaitu periode kolonial (1920-1945), kemerdekaan dan revolusi nasional (1945-1965), Orde Baru (1966-1998), dan reformasi (1998-sekarang). Pembagian periode ini dibuat berdasarkan babakan sejarah. Walaupun tidak dengan sendirinya merupakan fase penting dalam perkembangan sastra, pembagian ini bisa diterima karena secara umum kaitan jiwa zaman setiap periode berkaitan erat dengan tema-tema karya sastra dari periode tersebut.
Media massa digunakan sebagai sumber karena di media massa itulah karya sastra diterbitkan. Dari periode kolonial, terdapat publikasi sejumlah karya sastra berupa drama, cerpen, dan puisi di surat kabar lokal seperti Bali Adnjana, Surya Kanta, dan Djatajoe. Dalam periode berikutnya, peran pengembangan sastra dimainkan oleh majalah Damai, Bhakti, surat kabar Suara Indonesia (kini Bali Post). Tema sastra senantiasa berkaitan dengan wacana media massa.
Unsur penting dalam karya kritik sastra Darma Putra adalah unsur pandangan kritis (critical view) yang baru mulai berkembang dengan pesat dalam dua dekade terakhir. Pandangan kritis tersebut penting karena memungkinkannya melihat hubungan erat antara sastra dan kehidupan sebuah masyarakat.
Dalam pembahasannya, ia menerapkan analisis intertektualitas dan historisisme baru. Dengan melihat hubungan antara wacana sastra dan wacana media massa, dapat dipahami dinamika sosial budaya masyarakat lewat karya sastra dalam periode-periode historis ketika sastra itu ditulis. Tahun 1960-an, misalnya, pada periode kemerdekaan dan revolusi nasional, puisi dan cerpen karya penulis Bali didominasi tema ”demam nasionalisme”, seperti ”ganyang Malaysia” dan yang mengultuskan Bung Karno.
Pada era Orde Baru dan Reformasi, teks sastra mencerminkan kehidupan sosial yang dilanda berbagai krisis. Refleksi itu tampak dalam tema-tema seperti masalah orang Bali kehilangan kebaliannya, ”kehilangan tanah dan identitas” (hal 128), ”ruangan pura dan kehilangan kekayaan budaya” (hal 136), dan masalah ”identitas Bali dan ’Yang Lain’” (hal 262).
Dalam diskusinya tentang identitas Bali dan ’Yang Lain’, dengan mendalam menguraikan kisah-kisah dalam cerpen dan novel yang menggambarkan hubungan percintaan antara orang Bali dan orang Barat, yang berlanjut dengan hubungan seksual tetapi tidak sampai pada pernikahan. Bagi Darma Putra, mencegah pernikahan orang Bali dan orang Barat dalam fiksi bukan sekadar melawan realitas kawin campur yang begitu lumrah dan berterima di Bali, melainkan refleksi kuat keinginan bawah sadar sastrawan untuk mendorong agar orang Bali senantiasa mempertahankan kebaliannya daripada hanyut berasimilasi dengan orang Barat.
Dengan cara mengangkat tema-tema seperti itu dalam sebuah karya kritik sastra, Darma Putra tidak hanya telah memperkaya khazanah kritik sastra di tanah air Indonesia, tetapi sekaligus membuka wawasan baru untuk perkembangan pengertian kita terhadap proses sosial-sejarah yang amat penting dalam mencetak sebuah masyarakat yang benar-benar ”pasca-reformasi”.
Karena buku ini hanya menggarap karya yang terbit sampai tahun 2000, tentu saja apa yang terjadi dalam perkembangan sastra Indonesia di atau dari Bali satu dekade terakhir tidak tercakup di dalamnya. Ini bukan kelemahan buku, melainkan tantangan yang disediakan untuk penelitian berikutnya.
Thomas M Hunter Dosen Bahasa dan Sastra Sanskerta dan Indonesia, The Asian Studies Department, University of British Columbia, Kanada