Tuesday, March 29 2011 13:32 WIB | Taksu
“Sastrawan Bali melancarkan kritik terhadap adat dan tradisinya lewat tokoh barat atau orang untuk mengritik sejalan dengan makna ungkapan jangan mengaku diri pinter biar orang lain yang menilai,” kata Prof Darma Putra di Denpasar, Selasa.
Guru Besar Fakultas Sastra Unud itu mencontohkan, dalam novel berjudul “Bila Malam Bertambah Malam” karya Putu Wijaya itu menggunakan salah seorang tokoh Barat untuk menyoroti perlunya tradisi Bali yang tidak sesuai kemajuan direformasi saja.
Reformasi itu antara lain gotong royong yang dinilai membuang-buang waktu, diganti dengan uang saja, sementara dalam “Liak Ngakak”, misteri liak dicoba diungkapkan dengan jelas lewat tokoh Cathie dari Australia.
Namun, gagasan-gagasan lewat tokoh barat itu tidak untuk diikuti, tetapi bertujuan mendorong orang Bali untuk lebih mencintai kebudayaannya.
Prof Darma Putra menambahkan, pembacaan atas teks-teks sastrawan Bali secara sosiologis mengungkapkan, bahwa pengarang Bali memilih interaksi percintaan Bali-Bule dalam karyanya, bukanlah untuk membawa tokoh-tokoh ceritanya ke jenjang pernikahan.
Namun upaya itu lebih sebagai wahana dialog untuk memperkuat jati diri kebudayaan dan masyarakat Bali. Industri pariwisata yang berkembang pesat di Pulau Dewata telah membuat Bali menjadi “Benteng terbuka”.
Dalam situasi demikian itu para pengarang Bali memiliki pandangan yang searah dengan para ahli antropologi, sosiologi, dan ahli sejarah pariwisata Bali.
Mereka berpendapat bahwa pengaruh global tidak mungkin dibendung, lebih baik orang Bali memperkuat kebudayaan dan jati dirinya sehingga sebagai “Benteng Terbuka” Bali tetap dan tepat bisa dijaga sepanjang zaman, tutur Darma Putra.(*)