Brisbane (ANTARA News) – Universitas Sydney (US) merayakan 50 tahun kehadiran Departemen Studi Indonesia (DIS) di lingkungan perguruan tinggi riset papan atas Australia itu pada 15 Agustus 2008.
Informasi dari Universitas Sydney yang dihimpun ANTARA News di Brisbane, Jumat, menyebutkan acara puncak peringatan “tahun emas” DIS itu ditandai dengan reuni para alumni yang turut dihadiri undangan dari unsur kedutaan besar, konsulat RI, Asosiasi Australia-Indonesia (AIA) dan Dewan Bisnis Australia-Indonesia (AIBC).
Kehadiran studi bahasa dan budaya Indonesia di US tidak dapat dilepaskan dari sosok Dr Frits van Naerssen karena dia adalah dosen senior yang mengajar. Akademisi asal Belanda ini memimpin DIS hingga 1960-an.
Eksistensi DIS Universitas Sydney itu telah membantu generasi baru Australia “menemukan” Asia dan berkenalan dengan isu-isu politik kawasan.
Disebutkannya, banyak di antara para lulusan DIS menjadi akademisi terkemuka tidak hanya di Australia tetapi juga di Universitas Princeton dan Leiden. Selain itu, banyak juga di antara para alumninya yang meniti karir sebagai penulis, diplomat, guru, pekerja sosial, wartawan, dan pengusaha yang sukses.
Dalam perjalanannya, DIS terus membangun jaringan kerja sama antar-akademisi Indonesia dan Australia, termasuk menghasilkan para lulusan doktor di bidang-bidang studi seperti sastra, politik, dan arsitektur.
Sementara itu, Dr.I Nyoman Darma Putra, alumnus DIS Universitas Sydney yang kini mengajar bahasa Indonesia di Universitas Queensland (UQ), menuturkan kenangannya kepada ANTARA News saat menjadi mahasiswa program magister di sana (1992-1994).
“Saya bersyukur bisa menempuh program master bidang sastra Indonesia di Universitas Sydney dengan beasiswa Pemerintah Australia walau prioritas beasiswa pemerintah Australia waktu itu (AIDAB, kini AusAID-red.) adalah ilmu pertanian, peternakan, dan bisnis,” katanya.
Pada era Orde Baru itu, koleksi perpustakaan Universitas Sydney tentang Indonesia sudah demikian kaya dan memudahkan para peneliti. Darma Putra mengatakan ia misalnya dengan mudah menemukan koran dan majalah Indonesia seperti arsip majalah Horison sejak awal dan Bali Post.
“Kalau di Indonesia, untuk mendapatkan bundel Horison paling tidak harus ke Pusdok (Perpustakaan Dokumentasi) HB Jassin di Jakarta, dan itu bagi mahasiswa daerah luar Jakarta, seperti saya di Bali, tidaklah gampang karena perlu waktu dan biaya,” katanya.
Buku-buku yang dilarang di Indonesia seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, tersedia di perpustakaan Universitas Sydney. Dalam hal usaha perpustakaan, Australia memperbaharui koleksi buku memang dihargai karena cepat dan berlanjut,” katanya.
Ketika itu, jumlah mahasiswa DIS cukup banyak sehingga memungkinkan jurusan mengadakan “Indonesian language camp” dengan acara main gamelan (Jawa), apresiasi sastra, dan kuis-kuis bahasa Indonesia, kata penulis buku “Tourism, Development and Terrorism in Bali” bersama Michael Hitchcock (2007) itu.
“Selama belajar di Sydney, ada pula banyak `event` yang memungkinkan saya bertemu tokoh-tokoh sastrawan, budayawan, intelektual Indonesia terkemuka seperti Rendra, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Nano Riantiarno, Arief Budiman, Gus Dur, Chris Biantoro, dan Putu Wijaya.”
“Kecuali Putu Wijaya, sulitlah bagi saya sebagai orang daerah bisa bertemu dan mendengarkan ceramah-ceramah dan pementasan mereka di Bali. Ketatnya kontrol rezim Orba membuat tokoh-tokoh kritis itu tidak bisa tampil sembarangan di daerah, tetapi di Australia akses untuk dengar penampilan mereka terbuka,” kata akademisi produktif yang juga dosen Universitas Udayana Bali ini. (*)
f