Oleh I Nyoman Darma Putra, Bali Post Minggu, 31 Mei 2009
DALAM riuh-rendahnya debat publik mengenai esensi dan substansi Ranperda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) beberapa pekan terakhir, penyair Bali kelihatan berpangku tangan alias tidak mengangkat pena.
Ini berbeda halnya dengan 15 tahun lalu, ketika Bali heboh dengan pro-kontra pembangunan BNR dan lapangan golf di Tanah Lot dan megaproyek lainnya di Bali Selatan. Saat itu, semangat resistensi atas megaproyek mengalir deras lewat banyak puisi penyair Bali, baik yang dimuat di media massa lokal maupun nasional.
Meski penyair Bali tidak menyuarakan aspirasinya kini, bukan berarti kontribusi mereka kosong. Justru, apa yang mereka lontarkan pertengahan tahun 1990-an masih sangat relevan sampai sekarang.
Sebagai golongan intelektual, penyair Bali telah mengutarakan kearifannya dengan bahasa seni bahwa pembangunan yang berlebih telah membuat Bali berada dalam ancaman kehancuran landscape dan spiritualscape. Yang pertama mengacu pada tata ruang fisik, sedangkan yang kedua adalah fungsi ruang untuk aktivitas spiritual seperti upacara, pentas seni, dan prosesi ritual. Landscape dan spiritualscape saling berkaitan.
Proses kehancuran landscape dan spiritualscape, menurut para penyair, membuat masyarakat Bali terdesak dan terasing di tanahnya sendiri. Penguasaan berlebih oleh hotel dan villa atas pantai yang berakibat pada susutnya akses publik untuk melakukan upacara di pantai. Fenomena ini, misalnya, dilukiskan oleh penyair Alit S Rini dalam sajak “Tanah Sengketa” (1995) dengan ungkapan terhalang hubungan dengan nenek moyang.
Ungkapan tersebut memiliki makna denotatif karena memang mencerminkan realitas atas banyak pantai indah di Bali yang dijaga satpam hotel atau restoran sehingga akses dan keleluasaan publik untuk menggelar ritual serasa terganggu. Secara konotatif, ungkapan itu bermakna lebih luas karena bukan hanya akses fisik yang susut tetapi juga atmosfer keheningan untuk kusyuknya suatu ritual memuja leluhur.
Kata Tanah
Dalam mengangkat ihwal ancaman kehancuran landscape dan spiritualscape, sajak-sajak penyair Bali banyak yang tampil dengan memakai kata tanah dalam judul. Selain sajak “Tanah Sengketa”, juga ada sajak “Di Pura Tanah Lot” (Landras Syaelendra), “Mana Tanah Bali” (Widiyazid Soethama), “Upacara Kepulangan Tanah” (Oka Rusmini), “Jalan ke Tanah Lot” (Warih Wisatsana), dan “Tanah Pesisir Padanggalak” (GM Sukawidana).
Sajak-sajak lain, walau tidak menggunakan kata tanah di judul, tetapi isi keseluruhan membuat asosiasi pada tanah atau ruang atau wilayah Bali yang kian sempit karena alih fungsi seperti sajak “Halaman Kapur Bukit Pecatu” dan “Di Depan Arca Saraswati” (Fajar Arcana), “Lelaki Kuburan Badung” (Nyoman Wirata), dan “Catatan tentang Ubud” (GM Sukawidana).
Citra Bali yang biasa dilukiskan indah dalam promosi pariwisata, dalam sajak-sajak penyair Bali digambarkan terbalik seratus delapan puluh derajat. Bali, dalam sajak Alit, diungkapkan sebagai tanah sengketa yang mengandung konotasi penuh masalah, tidak aman, memendam konflik, bak api dalam sekam. Penyair berteriak agar ancaman laten ini disudahi atau eksploitasi akan menyuburkan derita.
Ketika ada usulan agar tinggi bangunan ditoleransi sampai 33 meter (seperti Hotel Bali Beach yang berlantai 10), maka penolakan atas ide ini berlangsung superkilat, karena publik sadar bahwa hotel atau apartemen demikian akan menjadi bumerang yang tak hanya akan merusak panorama Bali tetapi juga menodai spiritualscape kalau letaknya di dekat pura atau kawasan suci.
Keluhan Alit juga bergema dalam sajak “Di Depan Arca Saraswati” (1994) karya Fajar Arcana. Subjek sajak ini melontarkan keluhannya ke Dewi Saraswati seperti ini: Dewi, pelataran pura ini/ tak cukup buatku menari/ Terasa ruang kian menghimpit/ penuh ditumbuhi pohonan/ yang tidak kita kenal. Tak hanya pantai yang kurang leluasa digunakan masyarakat, ruang-ruang lain di setiap pelataran pura di seantero Bali pun terasa kian sesak.
Landras Syaelendra dalam sajak “Di Pura Tanah Lot: Bersama Aix” (1994) yang dimuat majalah Horison lebih eksplisit melukiskan keterasingan masyarakat karena berada di antara tiang-tiang beton dan lalu lalang tubuh-tubuh telanjang. Ungkapan tiang-tiang beton adalah makna kehancuran landscape, sedangkan ekspresi lalu lalang tubuh telanjang bermakna ternodanya spiritualscape.
Masyarakat Bali dikenal bisa khusyuk melaksanakan ritual meski dalam situasi riuh atau cemar sekali pun, tetapi Landras dan juga banyak penyair, budayawan dan intelektual lainnya berpendapat bahwa alangkah idealnya kalau ruang-ruang spiritual tidak mengalami polusi kultural.
Perasaan kecewa atas hilangnya atmosfir untuk memelihara dan menjaga peradaban dilontarkan dengan dalam dan indah oleh Oka Rusmini dalam sajak “Upacara Kepulangan Tanah” (1995). Ungkapan yang digunakan Oka dalam mengartikulasikan keprihatinannya adalah bahwa masyarakat tak lagi bisa merangkai upacara dengan bau tanah miliknya. Bali tanpa upacara tentu bukan Bali lagi!
Sajak Oka Rusmini ini agak panjang dan dibagi ke dalam empat bagian yang tiap-tiap bagiannya mencerminkan jenjang bergesernya keadaan dari tenteram menuju kiamat, persis seperti terkandung dalam konsep catur yuga yaitu kerta, treta, dwapara, dan kaliyuga. Yang pertama adalah keadaan dunia tenteram raharja, sedangkan yang terakhir situasi dunia yang kacau-balau.
Dalam bagian pertama sajak ini, Oka mengungkapkan peradaban Bali yang asri dan luhur, sedangkan pada bagian selanjutnya merosot, sampai akhirnya pada bagian keempat berisi lukisan kiamat seperti terbaca dalam ungkapan: berapa petak tanah yang kau sisakan/ untuk penguburan ini. Kisah dalam sajak ini adalah proses dari peradaban yang kian lama kian merosot dan terkubur. Episode peradaban menuju kaliyuga, menurut sajak ini, terjadi karena masyarakat Bali kian lama kian kehilangan tanahnya tempatnya berpijak dan menggelar ritual.
Salah satu pesan dari sajak yang sangat dalam dan menyentuh ini adalah ajakan untuk mengontrol agar pembangunan tidak membuat penduduk terdesak, terasing.
Para Kartunis
Selain para penyair, para kartunis Bali juga memberikan kepeduliannya tentang nasib tanah dan budaya Bali lewat kartun-kartunnya yang biasa muncul di media massa terutama Bali Post. Kartunis Gus Martin, Jango Pramartha, Surya Dharma, dan Gun Gun sering mempublikasikan kartun-kartunnya dengan sindiran tajam. Kartun-kartun itu ikut memperkuat wacana penolakan terhadap eksploitasi Bali.
Sebuah kartun Jango yang menggambarkan alat berat di proyek BNR menangguk tanah dan banten yang dijunjung wanita Bali adalah contoh sindiran yang berusaha menjelaskan bahwa ketika tanah Bali dieksploitasi, adat dan budaya akan ikut tergerus, persis seperti yang dilontarkan para penyair bahwa pengrusakan terhadap tata ruang Bali akan berdampak pada kegoncangan ruang spiritual.
Lewat karya seni masing-masing, penyair dan kartunis Bali dalam hampir dua dekade terakhir ini telah berjasa ikut membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga Bali agar kehancuran landscape dan spiritualscape bisa dicegah!
* Penulis adalah dosen Sastra Indonesia Faksas Universitas Udayana, menulis dari Brisbane.
sumber: http://balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=15&id=15044
Hidup bali…!
hidup penyair bali