Cukup poster, atribut kampanyue di Brisbane (foto Gede Suparwata dan Dasar Bali)
Cukup poster, atribut kampanye di Brisbane (foto Gede Suparwata dan Dasar Bali)

Banyak rakyat apatis menghadapi Pemilu 2009. Selain karena caleg dan partai terlalu banyak, apatisme juga terjadi karena pemasangan atribut kampanye yang merusak pemandangan. Rakyat kecewa melihat baliho yang bikin pesona kota dan desa polusi. Kalau rakyat kecewa, golput kemungkinan meningkat. Kasihan ‘kan pemilu berbiaya besar tapi jumlah rakyat yang memilih rendah.

Proses kampanye mesti elok sehingga rakyat puas dan terpanggil untuk berpartisipasi pada hari-H. Keelokan bisa dimulai dari banyak hal, salah satu misalnya dengan menertibkan pemasangan baliho serta atribut kampanye lainnya. Bagaimana caranya?

Dalam urusan menertibkan baliho atau atribut kampanye, Indonesia mestinya mau belajar dari negara maju, seperti Australia. Calon tidak memasang baliho, tapi cukup membuat poster seukuran kertas manila.

Sabtu, 21 Maret 2009 lalu Negara Bagian Queensland melaksanakan Pemilu untuk memilih Kepala Negara Bagian (Premier). Waktu kampanye ditetapkan selama satu bulan.

Sejak masa kampanye mulai, iklan kampanye di radio dan televisi banyak sekali. Tapi, di lapangan bersih. Tidak ada bendera berkibar. Ini pantas ditiru.

Kalau pun ada calon membuat materi kampanye, mereka hanya membuat poster ukuran kertas manila, dan dipasang dengan tiang pendek (sekitar 1,5 meter). Pemasangan poster tidak sampai merusak pemandangan.

Poster itu bisa dibawa ke mana-mana. Kalau kampanye di depan swalayan, atau di depan lapangan, poster dipasang di sana. Petugas kampanye seperti buka ‘warung’, duduk di samping poster atau bawah payung. Mereka siap menjawab pertanyaan dan menerima masukan dari publik.

Kampanye juga dilakukan dalam bentuk selebaran, surat, kartu/brosur yang dimasukkan ke kotak pos. Selebaran mereka biasanya penuh dengan propaganda dan saling serang lawan.

Kalau poster mengutamakan wajah dan partai kandidat, selebaran banyak berisi penjelasan lebih lengkap, juga gambar dan foto yang indah untuk memikat simpati publik.

Selama kampanye di Queensland, situasi desa dan kota tidak begitu berubah dari hari biasa, tidak ada jejeran baliho yang merusak alam atau mengotori kota. Satu dua memang ada baliho, tapi itu pun tidak sebarang. Mungkin dipasang di jalan by pass, jumlahnya sedikit sekali.

Hal lain dari kampanye pemilu di Australia seperti bisa diamati di Queensland bulan Maret 2009 adalah tidak ada minggu tenang. Sampai hari pencoblosan pun masih ada kampanye. Di depan TPS, poster calon masih terpasang. Selebaran buat pemilih masih dibagikan untuk memikat suara.

Begitu usai pemilu, kota tidak perlu dibersihkan dari kotoran baliho. Tak seperti di Indonesia, baliho berserakan, bekas poster atau selebaran, plakat pemilu masih terisa jadi sampah. Di Indonesia niat calon, apalagi yang kalah, untuk membersihkan atribut kampanyenya lemah sekali. Sebelum pemilu saja banyak baliho roboh dihantam hujan angin atau bendera robek-kumal, tidak segera diperbaiki oleh caleg yang bersangkutan.

Demokrasi kita masih baru, tapi ini justru merupakan alasan baik buat kita belajar sedini mungkin sehingga bisa menampilkan demokrasi yang cantik, indah, dan mempesona.

Untuk pemilu yang akan datang, entah untuk pemilihan bupati, atau gubernur, walikota, Komisi Pemilihan Umum mestinya berani mengambil keputusan untuk menertibkan atribut kampanye dan cara pemasangannya. Jangan semrawut seperti sekarang.

Baliho semrawut, bisa bikin rakyat apatis, ancaman golput meningkat (dasar bali)
Baliho semrawut, bisa bikin rakyat apatis, ancaman golput meningkat (foto Dasar Bali)

Untuk pilkada bupati/walikota misalnya, setiap calon hanya diizinkan memasang maksimum dua baliho besar di tiap kecamatan. Tempat pemasangan dan ukurannya pun harus ditentukan, tak boleh semaunya saja. Selebihnya harus buat poster. Pembatasan pemasangan baliho merupakan jalan hemat dana kampanye buat kandidat. Mereka mestinya menyambut dengan suka cita.

Kampanye di koran atau internet yang tidak bikin polusi, silakan.

Kalau pemasangan atribut kampanye cantik dan indah, rakyat tidak perlu merasa kena teror oleh baliho atau spanduk gede-gede. Mereka akan berbondong ke tempat pencoblosan suara, bangga menjadi bagian dari demokrasi yang elok. Golput bisa ditekan. Mandat untuk yang terpilih pun makin mantap. Bukankah itu esensi demokrasi? (Dasar Bali)