Bali Post, Minggu, 31 Agustus 2008 |
Judul: Bali dalam Kuasa Politik
Penulis: I Nyoman Darma Putra
Tebal: x + 236 halaman.
Penerbit: Arti Foundation, Juni 2008
SEBUAH buku tentang Bali kembali terbit. Judulnya Bali dalam Kuasa Politik oleh I Nyoman Darma Putra (INDP), ahli Cultural Studies FS Unud, yang kini tengah menjadi pengajar sekaligus tengah mengikuti Postdoctoral Reseach Fellowship di School of Languages and Camparative Cultural Studies University of Queensland, Australia. Buku ini merupakan kumpulan dari sejumlah tulisan yang pernah disajikan di forum lokal, nasional maupun internasional, dengan sejumlah penyempurnaan dan penyesuaian. Buku ini membahas ‘sejarah Bali kontemporer’, tentang Bali dalam kuasa politik: dari peristiwa Puputan Badung (1906) sampai peristiwa bom Bali (2002, 2005), dari geguritan I Nengah Jimbaran karya Cokorda Denpasar sampai lagu pop Bali ‘Sarinem Neha Nehi’ oleh Bayu Kasta Warsa (Bayu KW), dari masyarakat homogen hingga multikultur, dari Baliseering hingga ajeg Bali. Buku ini tidak memiliki pretensi sejarah, namun demikian sangat banyak memuat informasi tentang peristiwa aktual yang terjadi sepanjang abad XX, yang boleh jadi sangat berguna untuk menyusun suatu sejarah Bali yang lebih utuh. Sejumlah aspek kebudayaan Bali dibedah dari sudut pandang cultural studies. Dalam pandangan ini, kebudayaan lebih didefinisikan secara politik daripada estetik, demikian INDP mengutip John Storey, tokoh cultural studies terkemuka saat ini. ‘Menganalisis kebudayaan sebagai objek keindahan saja adalah pandangan dengan kaca mata kuda. Bagi cultural studies, kebudayaan merupakan arena pertarungan berbagai kepentingan, vested interest, dan kekuasaan. Dengan kata lain, kebudayaan identik dengan pertarungan politik tiada henti antara kelompok yang berkuasa dan yang dikuasai. Pemahaman kita akan lebih kongkret dan menyeluruh kalau kebudayaan dilihat sebagai produk politik.’ Dengan kerangka berpikir seperti itu INDP tampaknya ingin menawarkan satu pendekatan ‘baru’ terhadap fenomena kultural Bali, yang selama ini mungkin lebih banyak didekati secara estetik ketimbang politik, terutama oleh para penulis orang Bali. Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukannya, INDP melihat banyak peristiwa dalam sejarah kebudayaan Bali yang bisa dijejerkan sebagai bukti besarnya intervensi politik di dalamnya, seperti perang Puputan Badung (1906), Puputan Klungkung (1908), perang memperebutkan kemerdekaan (1940-an), konflik dan kekerasan awal 1950-an sampai peristiwa ledakan bom yang kedua kalinya menimpa Bali apda 1 Oktober 2005. Pencarian Identitas Dalam buku ini, INDP mengatakan, “seperti halnya sejarah masyarakat etnik di mana pun di muka bumi ini, sejarah masyarakat Bali pun identik dengan sejarah pencarian dan rekonstruksi identitas. Dengan mengacu pada pendapat Madan Sarup, disebutkan bahwa identitas itu tidak pernah tetap, tidak utuh, tidak satu tetapi fabricated dan costructed, terus digodok dalam proses. ‘Identitas bukanlah sesuatu yang tetap, yang statis, tetapi hal yang terus berubah dan dinamis. Identitas bukan pula singular, tetapi plural’. Sejarah bagi kebanyakan orang Bali adalah berkaitan dengan sejarah genealogi, sebagaimana tertulis dalam babad-babad, prasasti, atau kisah lisan tentang para leluhur yang diterima secara turun-temurun dan diperlakukan sebagai mitos. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada abad ke-20 sampai awal abad ke-21, kejadian-kejadian dalam realitas kekinian sering kurang mendapatkan perhatian dan tidak dianggap sebagai ‘sejarah’, karena kurang mempunyai nilai magis atau kurang bersifat genealogis. Tidak banyak yang tahu, misalnya, bahwa gelar-gelar tradisional yang sering dibanggakan dan diagungkan saat ini, sebagiannya adalah hasil rekayasa pemerintah kolonial Belanda ketika mulai menguasai Bali secara penuh tahun 1908. Kalaupun ada yang mengetahui, kebanyakan di antaranya lebih memilih sikap acuh tak acuh, atau berpura-pura tidak tahu. Sementara itu hal paradoks justru timbul akibat sikap acuh tersebut, yaitu tumbuhnya feodalisme baru. Seiring dengan makin beratnya tantangan globalisasi, orang Bali justru masih sering kali memilih berkonflik dengan sesama mereka sendiri, dengan berbagai alasan dan latar belakang. Sebuah sindiran untuk orang Bali kini pun diungkap, ‘ngadep tanah meli bakso’. Masyarakat Bali kini tentu berbeda dengan masyarakat Bali tempo dulu. Perkembangan zaman dan globalisasi saat ini telah banyak membawa perubahan pada budaya Bali. Dengan demikian, apakah orang Bali masih memiliki identitas? Buku ini membicarakan upaya orang Bali mencari identitasnya, dari Baliseering di bawah pemerintahan kolonial Belanda sampai ajeg Bali di era globalisasi saat ini. Kalau ide Baliseering muncul tidak lama setelah peristiwa berdarah Puputan Klungkung (1908), ide ajeg Bali muncul juga tidak lama setelah peristiwa berdarah Bom Bali 12 Oktober 2002. Budaya Massa Sebagaimana diketahui, dalam pandangan cultural studies dan pascamodernisme, tidak ada pembedaan antara budaya elite dan budaya populer. Dalam cultural studies, kajian terhadap media massa merupakan hal yang utama. Dalam hal ini Bali sudah masuk dalam kancah budaya massa. Buku ini menyoroti banyak aspek tentang kebudayaan Bali melalui representasinya dalam media massa, baik media cetak maupun elektronik (radio dan televisi), yang terbit dari awal abad ke-20 sampai awal abad ke-21. Dari Surya Kanta yang terbit 1925 hingga Bali TV yang mulai tayang tahun 2002. Peranan media massa sebagai ‘saksi sejarah’ dan sumber sejarah Bali kontemporer sangatlah penting. Tanpa itu mungkin sulit untuk merekonstruksi sejarah dan identitas Bali, seperti yang berhasil diungkapkan dalam buku ini. Salah satu sumber kajian yang sangat penting adalah karya sastra (dalam hal ini karya sastra Bali) dan cikal bakal cultural studies adalah kajian pada karya sastra. Dalam pengertian luas, yang dimaksud dengan karya sastra Bali oleh INDP adalah karya sastra yang ditulis dengan bahasa Bali maupun Indonesia, tentang Bali oleh orang (sastrawan) Bali, baik dalam bentuk tradisional (geguritan) maupun modern (puisi, cerpen, novel, drama). Sementara yang dimaksudkannya dengan sastrawan Bali adalah para sastrawan kelahiran Bali dan sastrawan yang (pernah) menetap di Bali. Cakupan pembicaraannya dalam buku ini juga termasuk karya-karya para sastrawan yang berbicara tentang Bali, meskipun mereka tidak pernah menetap dalam waktu yang cukup lama di Bali. Buku ini penting dibaca oleh mereka yang tertarik pada cultural studies atau yang ingin tahu perkembangan budaya massa dalam masyarakat Bali, kalau bukan oleh mereka yang senantiasa menyandarkan pemahaman sejarah Bali kontemporer berdasarkan sumber-sumber ‘resmi’ belaka. * windhu sancaya http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberitaindex&id=4170 |
thanks for share…
selamat atas penerbitan bukunya yaa…:)