Kompas, Selasa, 29 Juli 2008 | 03:00 WIB 

monumen puputan klungkung. foto kompas
monumen puputan klungkung. foto kompas
 ”Kalau dulu para pendahulu kita rela mati untuk negara dengan melakukan puputan, sekarang disuruh tidak korupsi saja demi negara kok susah sekali,” kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada penutupan kegiatan Lawatan Sejarah Nasional VI di Denpasar, pertengahan Juli lalu.  
 
Puputan? Begitu heroikkah peristiwa yang terjadi di sejumlah tempat di Bali pada satu abad lampau itu? Mengapa ia masih perlu dicatat dalam ingatan kolektif sejarah bangsa, diperingati, dan dielu-elukan, bahkan dijadikan materi pembelajaran sejarah bagi siswa dan guru SMP peserta Lawatan Sejarah Nasional VI, 10-14 Juli 2008, yang datang dari berbagai pelosok Tanah Air?

 

 

Padahal, secara faktual, yang terjadi adalah kekalahan telak rakyat dan bangsawan Bali atas hegemoni penjajah. Ribuan orang menjadi korban. Puri Badung (20 September 1906) dan Klungkung (28 April 1908 ) di kawasan Bali selatan pun dihancurkan. Begitu pula dalam tragedi yang mendahuluinya di Buleleng dan Jagaraga (1846), kekalahan menjadi akhir dari peristiwa berdarah di Bali utara.

Meminjam ungkapan Darma Putra, pengajar pada Fakultas Sastra Universitas Undayana, puputan atau perang habis-habisan melawan penjajah hingga tetes darah terakhir (di Badung dan Klungkung) itu menjadi tonggak pahit tersapunya seluruh wilayah Bali dalam pangkuan kolonial.

Akan tetapi, meskipun kalah, perang itu tetap diperingati—dimonumenkan—karena ia mewariskan ”semangat puputan”, semangat berani mati membela negeri. ”Lagi pula, peristiwa Puputan Badung misalnya dimaknai sebagai tonggak awal berbenihnya nasionalisme di Bali,” ujar Darma Putra.

Dalam perspektif masa kini, tentu saja banyak argumentasi yang bisa dikedepankan mengapa semangat puputan tetap relevan untuk diaktualisasikan. Di luar perkara nasionalisme dan kesediaan berani mati demi membela negeri, juga interpretasi-interpretasi lain untuk tujuan propaganda bersifat politis, semangat puputan sesungguhnya wujud perlawanan atas terinjaknya harga diri sebagai penguasa negeri yang berdaulat.

Insiden ”Sri Koemala”

Pada Mei 1905 istana Raja Badung sedang dalam suasana semarak. Sebentar lagi pementasan tari akan berlangsung di Puri Denpasar.

Dua penari terbaik dari Tamansari, Raka dan Lambon, secara khusus akan membawakan sendratari ramayana. Keduanya sudah siap dengan episode Laksamana melawan Rahwana, salah satu momen paling populer dari sendratari itu.

Suasana semarak itu tiba-tiba ”dirusak” oleh kedatangan serombongan orang China yang diantar Nyo Tok Suey, China lokal yang bertindak selaku perantara. Mereka datang mengadukan permasalahan kepada Raja Badung terkait kapal mereka bernama Sri Koemala yang terdampar di lepas Pantai Sanur.

Muatan kapal Sri Koemala dari Banjarmasin itu dilaporkan dijarah oleh rakyat Badung di Sanur. Menurut versi mereka, berbagai barang mewah, sejumlah uang keping dan ringgit, serta bawang merah, minyak tanah, gula, dan terasi dinyatakan hilang saat kapal terdampar.

Kwee Tek Tjiang selaku pemilik kapal berbendera Balanda itu mengajukan keberatan dan meminta kompensasi 3.000 ringgit kepada Raja Badung. Tak hanya itu, kepada Pangeran Tjokorda Alit berserta sejumlah pembesar puri yang menemuinya, Kwee Tek Tjiang juga meminta Raja Badung agar menghukum penduduk Sanur yang ditudingnya telah merusak kapal Sri Koemala.

Namun, sebagaimana catatan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Mukhlis PaEni, berdasarkan arsip-arsip kolonial, meski Pangeran Tjokarda Alit sebelumnya lebih dikenal karena dua hal, beristri banyak dan tidak memiliki kepercayaan diri, dalam kasus ini justru ia bertindak sebaliknya. Menghadapi Kwee Tek Tjiang, masyarakat Badung dibuat kagum oleh sikap sang pangeran yang dengan tegas menolak permintaan pemilik Sri Koemala.

Sikap Pangeran Tjokarda Alit itu tentu saja menaikkan pamornya, sekaligus mengangkat wibawa puri. Ancaman Kwee Tek Tjiang bahwa jika permintaannya ditolak ia akan melanjutkan pengaduan ke Residen Buleleng dan Pemerintah Kolonial Belanda ditanggapi dingin oleh Pangeran Tjokorda Alit. Rombongan China itu bahkan dihardik dan diusir.

”Badung tidak takut dengan kanon dan meriam Belanda. Badung siap bertempur sampai titik darah penghabisan,” kata Dewa Gede Molog, salah satu pembesar puri yang mendampingi Pangeran Tjokorda Alit, sebagaimana dikutip Mukhlis PaEni.

Ketegangan pun berakhir bersamaan kemunculan rombongan penari yang sudah sejak awal bersiap dengan pementasan sendratari ramayana. Disambut riuh suara gamelan yang mengiringi penampilan Raka dan Lambok, Pangeran Tjokorda Alit bersama para pembesar istana Badung seketika larut menikmati episode Laksamana melawan Rahwana, suguhan maestro tari dari Tamansari tersebut.

Insiden kapal Sri Koemala itu, belakangan, digunakan Belanda sebagai dasar untuk menekan dan menguasai wilayah Bali selatan. Raja Badung diminta memenuhi tuntutan Kwee Tek Tjiang,

Tapi, ultimatum itu ditolak. Bukan karena Raja Badung tak punya uang, tetapi lebih karena masalah kedaulatan berikut kebohongan Kwee Tek Tjiang yang membuat laporan tanpa berdasarkan fakta. Sebab, muatan kapal Sri Koemala cuma terasi busuk dan ikan amis. Tak ada uang kepeng dan ringgit, juga keramik dan barang mewah di dalamnya.

Segala langkah diplomasi gagal. Sejarah pun kemudian mencatat, pada 20 September 1906 atau dua tahun setelah insiden kapal Sri Koemala, Raja Badung Tjokorda Ngurah Made Agung alias Raja Denpasar bergelar Tjokorda Mantuk Ring Rana harus berkalang tanah. Ia tewas bersimbah darah bersama para pembesar puri dan ribuan rakyat Badung yang setia mempertahankan kedaulatan negerinya.

Ironi sejarah

Puputan di Bali memang menjadi semacam ironi sejarah. Sebuah kemenangan dalam kekalahan! Di satu sisi ia meninggalkan luka yang dalam, tetapi di sisi lain tindakan heroik itu merupakan simbol perlawanan atas kolonialisme.

”Perlawanan raja dan rakyat Badung itu sekaligus bisa dimaknai sebagai kemenangan atas harga diri yang terkoyak,” kata Mukhlis PaEni ketika tampil dalam dialog kebangsaan di sela-sela kegiatan Lawatan Sejarah Nasional VI.

Bagi para guru dan pelajar, nilai-nilai semacam ini pantas dijadikan tolehan untuk merekat kembali nilai-nilai kebangsaaan yang dari hari ke hari kian luntur. Di tengah berbagai keluhan terkait pembelajaran sejarah di ruang kelas yang kerap membosankan, menggali nilai-nilai dari sumber pertama dengan mengunjungi situs-situs bersejarah bisa menjadi alternatif kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan.

Dalam kaitan peristiwa puputan di Bali, interpretasi untuk tujuan propaganda—termasuk yang berbau politis, sebagaimana dikemukakan Jero Wacik di awal tulisan ini—tetap dimungkinkan. Bukankah akhir-akhir ini masyarakat Bali kerap memanfaatkan semangat puputan untuk berbagai tujuan, yang intinya mendorong agar masyarakat bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan hidup mereka?

Bahwa di ranah politik makna puputan ingin disetarakan dengan semangat untuk memberantas korupsi, itu pun tentu lebih baik. Hanya saja, menjadi pertanyaan besar bagi kita sebagai anak bangsa, di tengah ”penguasaan” institusi-institusi negara oleh pentolan-pentolan partai politik, apakah kata dan perbuatan bisa berjalan seiring? (nal/ken)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/29/03173124/metamorfosis.semangat.puputan