Bali Post, 20 Mei 2007 http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/5/20/bud5.html

Judul                             :  Dunia Kampus yang Lain
Pengarang                    :  Arthanegara
Penerbit                        :  Panakom, 2007, 224 hlm.
Kata Pengantar            :  Nh Dini

NOVEL pendek ini berkisah tentang pengalaman mahasiswa Indonesia yang tugas belajar di negeri komunis Cina tetapi terpaksa pulang lebih cepat karena insiden G-30-S tahun 1965. Pada zaman Bung Karno, hubungan Indonesia-Cina lagi akur. Banyak mahasiswa Indonesia dikirim studi ke Cina. Peking jadi kota internasional karena di sana banyak mahasiswa luar negeri seperti dari Jepang, Thailand, Perancis, dan Aljazair. Dengan mahasiswa dari berbagai negara itulah mahasiswa Indonesia bergaul dan mencoba memahami perkembangan sosial politik internasional di sela-sela tugas utamanya untuk belajar.

Lewat tokoh Aku, novel ini mengisahkan suka-duka mahasiswa Indonesia belajar di Cina. Pendidikan ala Cina dilukiskan sangat ketat, disiplin tinggi, dan segalanya diatur lewat bel. Ada bel bangun pagi, bel cuci muka, bel makan, dan bel-bel lain sepanjang hari. Walaupun merasa tertekan, para mahasiswa Indonesia dilukiskan dengan cepat bisa berbahasa dan menulis huruf Cina.

Kisah pendidikan ala Cina yang ketat itu, dikisahkan dengan penuh humor, romantika cinta, dan spirit nasionalisme. Humor-humor terjadi karena mahasiswa Indonesia selalu punya akal untuk menghindar dari kegiatan yang tidak disukainya misalnya menonton film di kampus setiap minggu yang filmnya penuh dengan propaganda kebesaran Cina. Sakit perut, tidak punya baju baru, harus ke Kedutaan Indonesia, adalah contoh yang dipakai dalih untuk mengolok lao-shi (dosen/guru) agar dapat bebas dari belajar.

 Romantika cinta para mahasiswa menjadi satu bagian yang memikat dalam novel ini. Dilukiskanlah bagaimana tokoh Aku berpacaran dengan mahasiswa Jepang dan Thailand. Waktu untuk kuliah pun banyak dicuri-curi untuk bisa berpacaran dengan alasan yang dibuat-buat. Percintaan ini dijadikan bumbu penyedap untuk menuturkan kisah politik. 

 Alur besar novel ini memang linier. Kisah dimulai saat mahasiswa berangkat ke Peking dan diakhiri saat mereka pulang dari Peking. Alur linier ini menjadi menarik karena di dalamnya ada kisah sorot balik misalnya saat melukiskan percintaan. Ketika tokoh Aku berpacaran dengan Siriornch, mahasiswi Thailand, adegan sorot balik dilakukan untuk menjelaskan masa lalu cewek ini sebelum datang ke Cina. Sorot balik membuat struktur cerita makilit atau terjalin baik.

Walaupun ada percintaan serta olok-olok jenaka, inti dari novel terletak pada semangat nasionalisme mahasiswa Indonesia ketika hubungan dengan Cina mulai menegang. Hampir dua pertiga dari novel ini berkisah tentang dampak insiden G-30-S/PKI terhadap kehidupan mahasiswa yang cinta Tanah Air. Mereka harus pintar membawa diri di sekitar kampus dan ketika berhubungan dengan Kedutaan yang para diplomatnya berbeda posisi dalam memandang kudeta. Mahasiswa pun terbelah, ada yang pro-Cina dan pro-Indonesia alias cinta Tanah Air.

Mahasiswa yang cinta Tanah Air sempat disudutkan oleh pimpinan kampus dalam suatu demo. Katanya, “Kita berkumpul sekarang adalah untuk mengganyang orang-orang Indonesia yang anti pada sosialisme. Mereka dengan sewenang-wenang telah menghancurkan komunisme di Indonesia. Kita ganyang antek-antek rezim fasis dan kaum revisionis ini” (hlm. 205). Dalam situasi tegang pun lukisan percintaan tetap diteruskan sehingga novel menjadi kisah yang multidimensional, hidup, wajar, dan alamiah.

Walau diteror, mahasiswa cinta Tanah Air tidak gentar, mereka tetap bangga menjadi orang Indonesia. Walau melihat banyak orang keturunan dari Indonesia hijrah ke Cina pascakudeta, para mahasiswa tetap ingin kembali ke Tanah Air. Novel berakhir ketika mahasiswa diselundupkan pagi-pagi benar ke airport. Tak dilukiskan sampai mereka tiba di Indonesia. Bagian kalimat terakhir dari novel ini berbunyi: “Kami bersyukur karena rupanya tidak sia-sia kami mendapat latihan militer sebelum meninggalkan Tanah Air”.

 Belum Dikenal

Novel ini lahir dari tangan penulis yang belum banyak dikenal sebagai penulis. Dia adalah I Gusti Bagus Arthanegara (63), tokoh yang banyak bergerak di bidang pendidikan sampai pensiun sebagai pegawai negeri di Kanwil Depdiknas Bali. Ketika muda, Arthanegara mendapat kesempatan belajar ke Cina. Makanya, tokoh Aku dalam novel ini identik dengan pengarangnya sendiri.

Sebelum dikirim ke Peking, Arthanegara menggemari dunia sastra. Dia menulis puisi, cerpen, antara lain diterbitkan di Suluh Marhaen (sekarang Bali Post). Dia aktif dalam apresiasi sastra bersama seniman muda waktu itu seperti Made Sukada, Paulus Yos Adi Riyadi, dan Raka Santeri. Puisinya dimuat dalam buku antologi pertama puisi penyair Bali, berjudul “Penyair Bali” (Himpi, 1969). Dalam antologi ini, dimuat sajaknya tentang pengalamannya di Peking.

Walaupun Arthanegara sudah menekuni dunia sastra sejak lama, kehadiran novel “Dunia Kampus yang Lain” ini tetap mengejutkan karena diam-diam dia terus mengasah pena. Struktur naratif novelnya pantas diacungi jempol! Tepatlah kalau novelis sekaliber Nh Dini dalam “kata pengantar” novel ini memuji “kelancaran bercerita” Arthanegara. Tampil dengan bahasa yang jernih dan mengalir, novel ini layak dibaca pelajar, mahasiswa, dan penggemar sastra.

Sudah banyak karya sastra yang mengangkat insiden politik 1965 sebagai tema atau latar tetapi novel ini agak istimewa karena melukiskan apa yang terjadi di kalangan warga Indonesia di Cina, entah itu mahasiswa, diplomat, dan masyarakat umum.

* darma putra,
Brisbane (Australia)