Kompas, Sabtu, 20 Desember 2003
Judul buku: Bunga Jepun
Penulis: Putu Fajar Arcana
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Cetakan I, Tahun 2003
Tebal: 156 halaman
KUMPULAN cerita pendek (cerpen) yang memuat 16 karya ini merupakan antologi pertama dari penyair-wartawan Putu Fajar Arcana setelah menekuni dunia cerpen sekitar 15 tahun (1988-2003). Dalam tenggang waktu satu setengah dekade itu, cerpen-cerpen Fajar Arcana telah menunjukkan pergeseran estetik dan tematik yang tajam, dari cerpen semi-realis tentang manusia sebagai manusia dan cerpen realis yang mengungkapkan pengalaman manusia sebagai makhluk sosial, khususnya dalam konteks adat Bali.
Cerpen-cerpen semi-realis tampak pada karya-karyanya yang ditulis akhir tahun 1980-an hingga pertengahan tahun 1990-an. Tema dominannya adalah pengalaman khusus tokoh-tokoh ceritanya sebagai pribadi, bukan sebagai makhluk sosial. Walaupun kisahnya dilukiskan terjadi di Bali dan tokohnya orang Bali, fokus cerita bukanlah daerah dan etnik, tetapi pengalamannya sebagai pribadi dalam hubungannya yang bersifat pribadi dengan orang lain.
Cerpen yang termasuk dalam kategori ini antara lain “Odah” (1988), “Tanah Merah” (1990), “Nafas Usang” (1995), dan “Kita tak Pernah Bicara” (1997). Cerpen “Odah” melukiskan keinginan sekaligus keragu-raguan seorang nenek untuk mengungkapkan rahasia kepada seorang lelaki yang sering menolongnya bahwa dirinya adalah ibu kandung dari lelaki itu, sedangkan “Kita tak Pernah Bicara” adalah kisah suami istri yang mengalami kesenjangan komunikasi. Jelas di sini bahwa fokus cerita adalah pengalaman manusia sebagai manusia. Tema seperti ini rada-rada bersifat universal.
Karya-karya Fajar Arcana yang ditulis akhir tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an menunjukkan perubahan drastis. Tema-temanya didominasi masalah adat Bali dalam konteks modernisasi dan dorongan bertindak pragmatis. Tokoh-tokoh ceritanya adalah orang Bali dan kisahnya terjadi di Bali. Berbeda dengan kategori cerpen pertama yang agak universal, cerpen-cerpen ini sangat kontekstual. Yang termasuk kategori cerpen ini adalah “Rumah Makam” (2003), “Sulasih”, dan “Pergi dari Griya” (2003).
Cerpen “Rumah Makam” merupakan cerita yang paling kental menggambarkan “kekerasan” adat Bali dalam kehidupan sosial. Dikisahkan, sebuah keluarga terpaksa mengubur jenazah ayahnya di rumah karena almarhum pada masa hidupnya dikucilkan. Sanksi adat ini dijatuhkan karena faktor politik. Semasa hidupnya, almarhum mencoba menggagalkan kampanye pemenangan Golkar.
Dalam kenyataan hidup masyarakat Bali, kasus warga kena sanksi adat seperti dilarang menggunakan kuburan atau tidak boleh masuk ke pura bukan fiktif, tetapi fakta emperis, makanya cerpen “Rumah Makam” adalah kisah yang sangat realistik. Dalam cerpen seperti ini adat Bali tampak keras, buktinya bagi orang yang sudah meninggal pun, sanksi adat tetap berlaku. Citra kekerasan wajah adat itu menjadi semakin kuat setelah dikisahkan bahwa keluarga yang menguburkan mayat di rumah (membuat “rumah makam”) itu akan dijatuhi sanksi adat baru. Ending cerita “Rumah Makam” sangat murung.
Kuatnya sistem patrilineal di Bali, terutama di kalangan ningrat (keluarga puri), memaksa seorang laki-laki, seperti dilukiskan dalam cerpen “Sulasih”, menikah sampai empat kali untuk mendapatkan keturunan laki-laki sebagai ahli waris dan penerus “takhta”. Atas nama adat, lelaki ini mencampakkan istrinya yang tidak memberikannya anak laki-laki. Hal ini membuat istri termudanya, istri keempat, mencuri bayi laki-laki di rumah sakit setelah tahu bahwa bayi yang dilahirkannya adalah wanita. Keputusan si istri mencuri bayi tentulah bukan karena keinginan lubuk hatinya, tetapi untuk memenuhi tuntutan adat. Masalah ketaksetaraan jender merupakan subtema penting dalam cerpen ini.
Cerpen “Pergi dari Griya” juga mengungkapkan ketimpangan jender dalam konteks adat, khususnya masalah kasta (wangsa). Seorang wanita berkasta tinggi yang menjadi istri dari lelaki kasta rendah memilih menerjunkan diri ke laut ketika upacara penghanyutan abu jenazah suaminya. Pilihan itu diambil karena dia membayangkan betapa tidak ada artinya hidup menjadi janda, tanpa hak suara di rumah mertua. Di sini dia menjadi orang lain. Kembali ke griya, rumah orangtuanya? Tidak mungkin sebab dia sudah dibuang karena turun kasta. Bagi kaum feminis, cerpen seperti ini mungkin merupakan contoh baik untuk melakukan perjuangan kesetaraan jender dalam konteks adat yang melucuti hak-hak wanita.
“Keras”-nya wajah adat Bali kerap diangkat sebagai tema cerita oleh sastrawan Bali lainnya, seperti Putu Wijaya, Rastha Sindhu, Putu Oka Sukanta, Faisal Baraas, Gde Aryantha Soethama, dan Oka Rusmini. Pada umumnya karya-karya mereka mengandung kritik sosial terhadap adat Bali, tetapi kesan umum yang timbul pada akhirnya adalah bahwa adat Bali terlalu keras untuk dirasionalisasi atau ditransformasi. Kalau tokoh-tokoh cerita dilukiskan melakukan perlawanan terhadap adat, mereka adalah orang-orang terpencil, marjinal, dan tanpa dukungan publik.
Bagi sebagian orang, cerpen-cerpen Fajar Arcana merupakan gambaran polos tentang “kekerasan” adat Bali. Sedangkan sebagian lain mungkin bertanya mengapa sastra tidak dijadikan alat pencerahan tentang adat yang telah dan terus membuat manusia tidak berdaya atau terpaksa melakukan tindakan yang tidak terpuji, seperti alegori mencuri bayi laki-laki dalam cerpen “Sulasih”. Mengapa tidak menulis cerita yang menggambarkan optimisme dalam memodernisasi adat Bali?
Beberapa cerpen Fajar dalam antologi ini memiliki kemiripan tema dan isi dengan karya Gde Aryantha Soethama. Cerpen “Bunga Jepun” mirip dengan cerpen “Terompong Beruk” (1995), “Rumah Makam” mirip dengan cerpen “Kubur Wayan Tanggu” (1996). Kemiripan ini bukanlah semata masalah pengaruh-mempengaruhi, tetapi yang lebih penting adalah adanya kepedulian yang sama antara pengarang Bali dalam menatap dilema-dilema yang muncul dalam masyarakatnya yang bersumber pada adat dan pariwisata. Kepedulian itu tak terhindarkan karena mereka merupakan bagian dari dunia sosial dan budaya yang sama. Lewat antologi Bunga Jepun, Fajar Arcana berhasil menggambarkan satu sisi kehidupan masyarakat Bali yang muram, pesimistik, suatu gambaran yang jauh dari citra eksotik dan romantik Bali di brosur pariwisata.
Kehadiran antologi cerpen Bunga Jepun ini tak hanya menambah buku kumpulan cerpen Indonesia yang belakangan memang kian subur akibat fenomena “industrialisasi sastra”, tetapi ikut memperkaya ragam tema-tema cerpen Indonesia dengan warna lokal Bali. Bersama pengarang Bali lainnya, seperti Panji Tisna, Putu Wijaya, Aryantha Soethama, Oka Rusmini, Fajar Arcana pun ikut memperpanjang tali kontribusi Bali dalam perkembangan sastra Indonesia.
I Nyoman Darma Putra Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar
sumber:http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0312/20/pustaka/756833.htm