Pemerintah Kabupaten Tabanan dikritik keras berbagai kalangan karena tidak melaksanakan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2008. Seniman, intelektual, dan anggota dewan melontarkan bahwa Pemkab Tabanan tidak memiliki komitmen pada kesenian Bali. Mereka bertanya-tanya mengapa Pemkab yang pernah menggebu-gebu menggelar kejuaraan Sarung Tinju Emas (STE), kini justru mengabaikan PKB.
PKB adalah kegiatan tahunan tingkat provinsi Bali yang dilaksanakan sejak 30 tahun untuk selama sebulan dalam masa liburan, Juni-Juli. Tiap kabupaten menggelar PKB sebelum PKB provinsi. Selain sebagai pemanasan, PKB kabupaten juga untuk menggali dan seleksi kontingen daerah yang akan tampil mewakilinya di provinsi. Menyediakan hiburan bagi masyarakat juga menjadi tujuan penting pelaksanaan PKB kabupaten.
Seperti kabupaten lainnya, Pemkab Tabanan pun menggelar PKB setiap tahun. Tabanan memiliki program prioritas ‘Tabanan Taksu Bali’, yang salah satu sasarannya adalah jelas mengembangkan seni budaya. Tahun 2006, Tabanan menggelar tarik kecak kolosal dengan 5000 penari di kawasan Pura Tanah Lot, dan mendapat liputan luas media internasional. Lalu, mengapa tahun 2008 ini Tabanan tidak menggelar PKB?
Alasan yang disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Tabanan, I Wayan Diasa, adalah karena kendala dana. Namun, setelah wartawan menelusuri ternyata sudah teralokasi dana sebesar Rp 350 juta untuk kegiatan PKB. Dana tersebut menurut Diasa digunakan membiayai seniman Tabanan untuk tampil di PKB provinsi, untuk menggelar PKB kabupaten sendiri tak cukup. Menggelar PKB memang membutuhkan biaya besar.
Dalam pernyataannya yang dikutip Bali Post (1/6/2008), Diasa menegaskan: “Kami memang melakukan efisiensi anggaran sesuai dengan yang diamanatkan, namun tetap tidak mengabaikan pembinaan seni dan budaya. Selain itu, dana yang tersedia sangat kecil bila dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali.”
Sebagai perbandingan, Buleleng mengganggarkan dana PKB Rp 400 juta, tak jauh beda dengan alokasi dana Pemkab Tabanan, ternyata bisa menggelar PKB di daerahnya dan tetap akan mengirim utusan ke PKB provinsi. Seniman, intelektual, dan anggota dewan mengherankan mengapa kegiatan STE digelar serius dan kekurangan dana justru diusahakan oleh Bupati Tabanan dengan mendesak berbagai pihak termasuk staffnya untuk menyumbang rela-paksa.
Kritik publik mengindikasikan masyarakat, khususnya Tabanan, masih tetap menginginkan PKB Tabanan digelar. Mereka merasa malu aktivitas seni mereka absen, tak enak hati pada kabupaten lain yang walaupun relatif menghadapi masalah dana toh tetap bisa melaksanakan PKB di daerah masing-masing.
Orang mungkin menilai bahwa ini salah satu dampak negatif dari otonomi daerah di tingkat kabupaten. Bupati bisa semaunya memutuskan apa yang mereka ingin laksanakan, dan apa yang tidak. Bupati tidak perlu mendengar atau melaksanakan kemauan gubernur. Sistem otonomi daerah gagal mewujudkan kekompakan di antara pemerintah. Sementara itu kritik masyarakat lewat media massa yang begitu gencar karena kebebasan berekspresi, juga berlalu begitu saja. Di Bali, kekompakan untuk urusan seni budaya dan pariwisata seharusnya tidak boleh mengendor.
Absennya PKB di Tabanan bisa juga dianggap sebagai tumpulnya kepekaan pejabat pemerintah termasuk tentunya anggota dewan dalam memahami dinamika sosial budaya. Mereka sibuk mengelola isu politik untuk tujuan kekuasaan masing-masing, apalagi sekarang ini siklus musim pemilu dan pilkada berputar cepat.
Di Bali, PKB sudah terbukti menjadi ajang pesta seni yang kolosal, yang tidak saja menyediakan arena bagi seniman untuk pentas tetapi juga hiburan bagi masyarakat di tengah absennya pentas-pentas seni di desa-desa akibat modernisasi.
Di masa datang, jangan terjadi lagi Pemkab Tabanan atau kabupaten lain sampai tidak menggelar PKB di daerahnya. Kecaman dari seniman, intelektual, dan anggota masyarakat lainnya atas absennya PKB di Tabanan menunjukkan pesta seni masih menjadi dambaan masyarakat!