Cita-cita perjuangan R.A. Kartini sesungguhnya sudah masuk dalam wacana tentang kesetaraan gender di kalangan wanita intelektual Bali pada tahun 1930-an. Tak hanya pemikirannya, nama Kartini juga sering disebut dalam artikel-artikel yang ditulis wanita Bali pada masa itu. Hal ini berlanjut terus tahun 1950-an, bahkan lebih frekuentif dan intensif. Bedanya, pada era 1930-an, sketsa wajah Kartini tak pernah muncul dalam majalah.
INILAH cuplikan gambaran wanita Bali tempo dulu yang ditulis I Nyoman Darma Putra dalam buku “Wanita Bali Tempo Doeloe, Perspektif Masa Kini” ini. Di buku yang kini sudah memasuki cetakan kedua ini, Darma Putra bermaksud menyelamatkan tulisan-tulisan yang dibuat wanita Bali tempo dulu, agar pesan yang hendak mereka sampaikan dapat dijadikan bahan renungan. Hal ini terkait dengan ramainya muncul wacana kesetaraan gender dalam kehidupan sosial dewasa ini.
Lantas, kembali persoalan menarik tadi, mengapa pada era 1930-an sketsa wajah Kartini tak pernah muncul dalam majalah? “Hal ini terjadi mungkin karena teknik cetak majalah belum begitu maju seperti saat itu. Baru pada era 1950-an, sketsa wajah Kartini dicetak lewat majalah-majalah mengiringi pembahasan terhadap perjuangan dan pikirannya,” demikian tulis Darma Putra.
Selanjutnya disebutkan, majalah Bhakti dan Damai yang terbit kala itu lantas berulang-ulang memuat gambar wajah R.A. Kartini, misalnya sebagai cover majalah atau ilustrasi artikel di halaman dalam. Kedua majalah itu sering tampil dengan “edisi Kartini” untuk penerbitan bulan April, berdekatan dengan peringatan hari Kartini 21 April. Pada edisi khusus itu, dimuat banyak artikel tentang wanita, tentang Kartini dan tentang gerakan wanita internasional. Pembahasan tentang isu wanita menjadi lebih mendalam dan luas.
Perihal istilah emansipasi, itu muncul dalam sejumlah artikel yang dimuat di rubrik “Ruangan Wanita” di kedua majalah tersebut. Emansipasi di situ diartikan sebagai “persamaan hak-hak”. Sementara pada tahun 1930-an, walaupun semangat kesetaraan perempuan dengan laki-laki di bidang pendidikan dan kehidupan sosial banyak dibahas, istilah emansipasi memang belum muncul.
Penggunaan istilah emansipasi misalnya, bisa dilihat dalam tulisan Asri yang dimuat di majalah Bhakti terbitan 1 Januari 1953. Di situ, Asri menyebutkan tokoh-tokoh pejuang wanita secara internasional, menyebutkan tokoh-tokoh pejuang wanita dunia, sebelum akhirnya menguraikan cita-cita Kartini dan pengertian emansipasi serta model wanita atau ibu ideal dalam konteks Indonesia.
Asri mensejajarkan kedudukan Kartini dengan tokoh pejuang wanita dunia. Dia menulis, “Jika Amerika punya Eleanor Roosevelt, Rusia punya Pauline Molotov, India punya Vijaya Laksmi Pandit, maka bagi kita di Indonesia punya Ibu Kartini. Seorang bangsawan putri yang di lingkar tembok tebal, keinsafan dan semangatnya pun adalah setebal tembok yang memagarinya pula.”
Atas fenomena ini, Darma Putra lantas mengulas kesadaran akan ketokohan Kartini bisa dilihat sebagai modal dasar utama dalam pergerakan memajukan kaum wanita Indonesia. Perjuangan wanita Indonesia mendapat inspirasi dari cita-cita Kartini. Perjuangan yang dicanangkan Kartini belum usai, namun cita-cita itu diteruskan oleh organisasi wanita seperti Wanito Oetomo, Poetri Indonesia, hingga Wanito Moelio. “Organisasi wanita Bali yang ada pada tahun 1930-an, Poetri Bali Sadar, tidak disebutkan secara eksplisit dalam artikel ini,” tulis Darma Putra.
Berbagai isu sekitar kesenjangan kedudukan wanita di masyarakat menjadi masalah perjuangan organisasi itu. Mereka misalnya ikut membicarakan secara serius adat poligami yang banyak dibahas tahun 1950-an dari sudut pandang agama. Ketika sampai pada topik emansipasi, dalam tulisan Asri, disebutkan bahwa kesadaran akan persamaan hak hanya ada di kalangan wanita intelek. Pernyataan ini tak hanya melukiskan ketimpangan, tetapi juga harapan agar kesadaran emansipasi bisa merata di berbagai lapisan kaum wanita.
Asri melihat bahwa pengertian emansipasi perlu diluruskan. Emansipasi, tulis Asri, menuntut adanya hak-hak sebagai manusia yang diperkosa oleh kaum laki-laki, atau dengan lain kata, usaha wanita melepaskan diri dari perbudakan kaum laki-laki. “Perjuangan persamaan hak harus dibedakan dengan perjuangan persamaan gaya,” papar Asri.
Disinyalemen masih banyak wanita pada masa itu yang salah paham dengan emansipasi. Emansipasi adalah usaha perjuangan persamaan hak, bukan persamaan gaya. Sebagai ilustrasi disebutkan bahwa wanita yang memperjuangkan emansipasi bukanlah untuk bisa berpakaian secara laki-laki, merokok, menyetir otot, tenis, piknik, dan berdansa. Menurut Asri, jika wanita berusaha untuk tampil seperti itu, itu artinya mereka memperjuangkan persamaan gaya, bukan persamaan hak.
Wanita yang mengejar persamaan gaya, menurut Asri, condong menjadi wanita cantik dan modern. Wanita seperti ini justru menambah beban suami. Mereka sering mengorek kantong suami untuk memuaskan diri memenuhi gaya hidup modern. Ia tak sanggup hidup dengan suami yang berpenghasilan kecil. Wanita yang haus akan kegemerlapan dan foya-foya suatu saat akan terbang bagai kupu-kupu kalau suaminya tidak mampu memenuhi kebutuhan materialnya.
“Wanita yang tipe ini adalah contoh wanita yang keluar dari rel atau menyimpang dari tujuan perjuangan untuk kaum wanita yang sudah diperjuangkan berabad-abad,” demikian Asri seraya menegaskan bahwa emansipasi harus diarahkan untuk melenyapkan adanya anggapan dan perbuatan sewenang-wenang dari kaum laki-laki yang di luar perikemanusiaan.
Penegasan cita-cita Kartini dan emansipasi juga ditulis oleh Ni Jasmin Oka di majalah Damai terbitan 17 April 1953. “Jasa Kartini bukan terletak pada apa yang diwujudkan waktu hidupnya. Jasanya justru terletak pada cita-citanya yang tinggi dan luhur, untuk kebangkitan kaum dan bangsanya,” tulis Oka.
Pembelaan kritis terhadap pemikiran Kartini terutama mengenai dugaan bahwa Kartini terlalu memalingkan muka ke Barat dalam soal emansipasi juga ditulis Jasmin Oka. Hal itu, menurutnya, bukanlah dimaksudkan untuk menjelma sebagai orang Barat. “Namun, untuk mengambil dari Barat sifat-sifat yang dapat memajukan lingkungannya sendiri dengan tidak melahirkan sifat-sifat dan kebudayaan asli, supaya dapat ikut melangkah dengan bagian dunia lainnya,” pendapat Oka.
Pemikiran Asri maupun Jasmin Oka, menurut Darma Putra, menunjukkan bahwa kalangan wanita intelektual Bali tempo dulu ikut aktif menafsirkan cita-cita Kartini terkait dengan konteks perkembangan zamannya. “Jika dilihat dari sudut pandang dewasa ini, beberapa penafsiran mereka tentang emansipasi tampak terlalu sempit seperti halnya pendapat yang tidak merestui wanita mengendarai mobil. Namun, banyak juga yang masih relevan dengan situasi sekarang, misalnya tentang perlunya kita terbuka dengan nilai Barat untuk meraih kemajuan tanpa melalaikan budaya sendiri,” demikian Darma Putra. (tin)
sumber:http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2007/4/22/b18.html