Dalam suasana menyambut Hari Kartini atau hari lahirnya Raden Ajeng Kartini, 21 April besok, ada baiknya merenungkan kiprah wanita Bali sejak dulu hingga kini. Adakah wanita Bali lemah, pendiam, terbelakang dan nrimo? Atau, justru agresif dan pemberani dalam memperjuangkan aspirasi kaumnya untuk mencapai kesetaraan gender?
SEBAGIAN jawaban terhadap pertanyaan tersebut terungkap dalam buku baru tentang wanita Bali, berjudul Wanita Bali Tempo Doeloe, Perspektif Masa Kini karya I Nyoman Darma Putra, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dalam buku ini, Darma Putra tegas mengatakan bahwa wanita Bali “tempo doeloe” sangat vokal dan berani menyampaikan aspirasinya.<!–[if gte vml 1]> <![endif]–>
Buktinya? “Mereka berani berserikat membentuk organisasi sosial untuk menolong kaumnya, baik lewat pendidikan maupun gerakan sosial memprotes ketidakadilan gender yang menomorduakan wanita,” ujar Darma Putra, yang baru saja meraih gelar doktor dari School of Languages and Comparative Cultural Studies, University of Queensland, Australia. Yang dimaksud ”tempo doeloe” dalam buku ini adalah era dari zaman kolonial sampai dengan dekade awal kemerdekaan, 1950-an.
Menurut Darma Putra, wanita terpelajar Bali tahun 1930-an, ketika Indonesia masih dijajah Belanda, berani tampil membentuk organisasi Poetri Bali Sadar (PBS) yang gerakannya ditujukan secara khusus untuk membantu kaum wanita agar bisa meraih kemajuan seperti kaum laki-laki.
Pembentukan PBS merupakan reaksi dari dua kenyataan. Pertama, tahun 1930-an, banyak wanita Bali yang masih buta huruf, tidak mau bersekolah karena bagi mereka dan masyarakat umumnya, wanita tidak perlu sekolah. Tugas utama mereka adalah mengurus anak dan rumah tangga. Kedua, PBS dibentuk karena organisasi Bali Darma Laksana yang terlebih dahulu ada terlalu memfokuskan kegiatannya untuk laki-laki. “Wanita terpelajar yang aktif di Bali Darma Laksana akhirnya membentuk organisasinya sendiri. Berdirilah Poetri Bali Sadar, 1 Oktober 1936,” ujar Darma Putra.
Salah satu tokoh pendiri PBS yang masih hidup sampai sekarang adalah I Gusti Ayu Rapeg, istri mantan pejabat Gubernur Bali I Gusti Putu Merta. Namun, ketika membentuk organisasi itu, Rapeg masih sangat muda, baru pulang dari sekolah di Blitar, Jawa Timur. Dia dan aktivis PBS kebanyakan bekerja sebagai guru.
Menurut Darma Putra, keberanian wanita Bali “tempo doeloe” juga besar artinya kalau dilihat dari kerasnya tekanan penjajah Belanda. “Belanda tidak ingin ada organisasi dinamis, yang membuat masyarakat sadar bahwa penjajah itu jelek. Tetapi, wanita terpelajar kita waktu itu bisa mendirikan organisasi, bukankah mereka hebat?” tambah Darma Putra mencoba memberikan persepsi baru citra wanita Bali.
Aktivis PBS juga memprotes poligami, memprotes eksploitasi wanita telanjang dada untuk promosi pariwisata seperti muncul dalam sejumlah postcard. Protes mereka disampaikan dalam artikel yang dimuat di majalah waktu itu. “Memang banyak wanita Bali yang menjadi penulis waktu itu,” kata Darma Putra.
Terjun ke Politik
Menurut Darma Putra, keberanian wanita terpelajar Bali untuk menyuarakan aspirasi kaumnya berlanjut terus tahun 1940-an dan sampai 1950-an. Pada zaman revolusi, banyak yang menjadi pejuang, terlibat dalam organisasi sosial, dan kemudian berani terjun ke dunia politik.
Dalam buku ini, penulisnya mengungkapkan bahwa awal tahun 1950-an, di DPRD Bali sudah tercatat tiga anggota DPRD wanita. “Ini kan suatu kemajuan, dibandingkan sekarang hanya ada satu wanita di DPRD Bali. Bukankah ini cukup untuk mengatakan bahwa wanita Bali ‘tempo doeloe’ tak kalah majunya dengan wanita kini?” tanya Darma Putra.
Tentang apakah pasca-Pemilu 2004 nanti wanita bisa mengisi kuota kursi 30% di DPRD, Darma Putra menyatakan pesimismenya. Alasannya, wanita Bali kini jarang sekali yang terjun ke dunia organisasi pada umumnya, atau partai politik khususnya. Dia menegaskan bahwa hal ini merupakan kemunduran. “Kalau di dunia profesi lainnya, memang banyak wanita kini mengalami kemajuan, tetapi di bidang politik dan berserikat mereka kalah dengan wanita Bali tempo doeloe,” tambahnya.
Buku karya Darma Putra ini, menurut Wayan Kejit Arnaya dari Yayasan Bali Jani yang menerbitkan buku ini, mencoba memberikan persepsi baru tentang kedudukan sosial wanita di masyarakat Bali. “Isi buku ini sesuai dengan misi yayasan kami untuk memajukan harkat dan martabat wanita Bali di berbagai bidang,” kata Kejit Arnaya.
Meski demikian, Kejit Arnaya berpendirian bahwa akan jauh lebih baik artinya kalau apa yang disampaikan Darma Putra dalam buku ini bisa dikaji bersama. Untuk itulah, Yayasan Bali Jani akan membedah isi buku ini pada Senin (21/4) besok, tepat pada Hari Kartini. Acara bedah buku yang akan dipandu Wayan P. Windia ini dilaksanakan di Museum Pendet, Nyuh Kuning, Ubud pukul 16.00 wita.
Sementara itu Wayan P. Windia berpendapat, banyak sisi gelap wanita Bali yang terungkap dalam buku ini. “Tetapi, kita memerlukan upaya yang lebih kuat lagi untuk mengenal wanita Bali lebih komplit dari dulu hingga kini,” kata pengamat adat Bali ini. (tin)
Sumber: http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2003/4/20/ba2.html