Bali Post, Senin, 13 Oktober 1975.
Bali Post, Senin, 13 Oktober 1975.

Kebenaran bersifat kontekstual. Apa yang dulu benar, dalam perjalanan waktu bisa berbalik. Simaklah wacana publik yang muncul di koran 40 tahun lalu, dengan apa yang lumrah sekarang.

Koran Bali Post edisi Senin, 13 Oktober 1975 tampil dengan headline (berita utama) berjudul “Sepanjang Tidak Menganggu Tamu, Pantai Dimuka Hotel Bebas Dipergunakan untuk Umum”. Jika disimak judul itu dan isi beritanya, maka jelas yang mendapat prioritas menggunakan pantai adalah ‘tamu’, sementara masyarakat alias ‘umum’ nomor dua, boleh memakai dengan persyaratan ‘tidak menganggu’.

Pesan itu merupakan hasil rapat bersama antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat tanggal 10 Oktober, di resoran Hotel Sanur Beach.

Pertemuan dihadiri tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Unsur masyarakat diwakili oleh LSD (Lembaga Sosial Desa), sedangkan unsur pemerintah diwakili oleh Dinas Pariwisata Badung, pihak keamanan dari kepolisian, camat, sedangkan dari swasta hadir pimpinan hotel di Sanur.

Kualitas kebenaran pesan itu sangat kuat, karena diambil dalam rapat yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan utama, dan dijadikan berita utama di koran paling besar di Bali waktu itu. Kalau tidak penting dan baik, tidak mungkin menjadi headline.

Mulai Berkembang

Tahun 1975 kawasan wisata pantai Sanur sudah mulai berkembang, ditandai dengan mula-mula hadirnya Hotel Bali Beach (Grand Bali Beach), Hotel Segara Village, Bali Hyatt, dan Sanur Beach di ujung selatan, yang dipilih menjadi tempat pertemuan.

Perkembangan Sanur waktu itu, tentu jauh dari sekarang. Meski demikian, persoalan sudah mulai muncul dan dianggap perlu mendapat penanganan. Dalam berita ini disebutkan topik yang dibahas dalam pertemuan yaitu masalah kebersihan desa, keamanan/kenyamanan di pantai, pedagang liar (acungang) yang dianggap menganggu tamu.

Juga dibahas mengenai pemasangan papan tanda petunjuk usaha (hotel) agar dikoordinasikan dengan pemerintah. Tujuannya tentu jelas agar, semuanya tertib dan teratur. Mengenai dana kebersihan dan keamanan, diharapkan bantuan dari pemerintah dan pengusaha.

Kita tahu pemerintah sangat kuat waktu itu dalam menentukan arah wacana dan mengontrol masyarakat, akan tetapi mudah memahami bahwa keputusan menghargai tamu waktu itu adalah hal yang rasional juga bagi masyarakat. Hotel belum ramai benar, dan akses masyarakat ke pantai masih terbuka.

Lain Dulu Lain Sekarang

Lain dulu, lain sekarang. Ketika daerah pantai di Bali dipadati oleh hotel sampai-sampai seperti tidak ada akses bagi publik untuk ke pantai, pesan tahun 1970-an menjadi terbalik. Wacana yang muncul adalah bahwa hotel merupakan ruang public (public space), tidak boleh dimonopoli oleh hotel dan wisatawan. Masyarakat menggunakan pantai untuk rekreasi dan juga ritual keagamaan.

Judul headline koran terkemuka di Bali mencerminkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, tapi kontekstual. Pada saat itu, tahun 1970-an, ketika pariwisata baru berkembang, maka memberikan keleluasaan kepada para pengusaha hotel dan wisatawan menggunakan areal pantai untuk rekreasi adalah utama. Masyarakat boleh menggunakan pantai asal tidak mengganggu.

Kalau dulu bahasanya adalah ‘pantai bisa digunakan UMUM sepanjang tidak menganggu TAMU’ maka kemudian, paling tidak mulai tahun 1990-an berbalik menjadi ‘pantai bisa digunakan TAMU sepanjang tidak menganggu UMUM’. Keinginan wacana sekarang adalah memberikan prioritas penggunaan pantai kepada ‘umum’, sementara ‘tamu’ boleh memakai pantai dengan ‘persyaratan’.

Media massa di Bali, termasuk koran Bali Post yang beritanya dikutip, banyak mengangkat wacana bahwa pantai adalah milik umum.

Pemerintah sendiri mulai akhir 1980-an, sudah menyadari hal bahwa pantai adalah publik space, buktinya di sepanjang pantai Sanur dibuat jalan setapak untuk akses publik menikmati pantai atau saat menggunakan paantai untuk kegiatan keagamaan dan tradisi. Usaha ini adalah untuk menyelaraskan penggunaan pantai agar semua ‘happy’. Bagaimana pun, pantai adalah salah satu daya tarik utama wisatawan berlibur ke Bali.

Masyarakat lokal pun tampaknya tertarik ke pantai karena mengikuti langkah turis, etnah untuk berenang, main surfing, atau rekreasi. Dulu dianggap berbahaya datang ke pantai saat sandikala (senjakala), kini sejak pariwisata maju, pemandangan sunset senja kala sangat memikat. Orang lokal banyak datang ke pantai saat senjakala, ikut menikmati pesona matahari tenggelam.

Refleksi dari Media Massa

Agar tidak keliru menilai koran plin-plan dalam menyajikan berita, maka dari apa yang ditulis dulu dan apa yang berkembang dalam dekade belakangan, menarik dilakukan refleksi berikut. Pertama, media massa menjadi aspirasi dari publik dan pemerintah untuk menyampaikan apa yang benar dan perlu disampaikan pada masanya.

Kedua, karena kebenaran bersifat kontekstual atau berganti-ganti sesuai dengan konsep Bali desa kala patra (tempat, waktu, situasi), maka setiap orang mestinya bijak dalam menyikapi situasi karena apa yang mereka anggap baik dan benar sekarang tak lama lagi akan berubah.

Sejalan dengan itu, setiap orang idealnya tidak terlalu kaku dengan posisi bahwa mereka tahu akan masa depan dengan pasti. Sebaliknya, setiap orang idealnya rendah hati dan bisa merasa bahwa mereka tak punya kemampuan yang cukup untuk mengetahui masa depan. Yang benar akan bisa salah, yang salah akan bisa menjadi benar pada waktunya.

Berita Bali Post di atas merupakan contoh kecil bahwa kebenaran berubah-ubah. Tak ada yang tahu masa depan karena sosoknya adalah fatamorgana.