Majalah Pemkot Denpasar "Sewaka Dharma" Edisi # 01 - 2015
Majalah Pemkot Denpasar “Sewaka Dharma” Edisi # 01 – 2015

Sejak menjadikan diri sebagai Kota Kreatif Berwawasan Budaya, Denpasar banyak mementaskan kesenian tradisional Bali seperti gamelan, tari-tarian, atau parade ogoh-ogoh. Ini bukan berarti bahwa Denpasar tidak memiliki denyut nadi seni modern atau kontemporer. Kenyataan menunjukkan bahwa seni modern seperti sastra dan teater berdenyut terus dan berlanjut di Kota Denpasar.

Pemerintah Kota memfasilitasi perkembangan seni sastra modern karena seperti halnya seni tradisi, seni modern pun merupakan arena mengasah kreativitas dan menafsirkan dan menafsirkan kembali nilai-nilai sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam semangat perayaan HUT Pemkot 27 Februari 2015, menarik menelisik peran pemerintah dalam membangun seni sastra dan teater dalam beberapa dekade terakhir.

Pusat Aktivitas Seni

Jika dilirik dari masa 1970-an hingga kini, akan terlihat bahwa pusat-pusat aktivitas seni sastra dan teater ada banyak seperti sekolah, kampus, taman budaya Arta Centre Denpasar, dan juga rumah-rumah pribadi. Untuk yang terakhir bisa disebutkan rumah dramawan Abu Bakar yang sering menjadi pentas untuk memanggungkan teater.

Tanggal 1 – 2 Januari 2015, misalnya, Abu mementaskan drama “Nyanyian Angsa” di rumahnya, di Jalan Sakura, Denpasar. Drama ini dipentaskan dalam rangka merayakan Tahun Baru dan hari ulang tahun Abu sendiri. Pentas disaksikan oleh budayawan, seniman, dosen seni, dan penggemar teater sehingga menjadi event seni yang penuh arti.

Pentas teater "Nyanyian Angsa" di rumah Abu Bakar, Januari 2015. (Foto FB Abu Bakar)
Pentas teater “Nyanyian Angsa” di rumah Abu Bakar, Januari 2015. (Foto FB Abu Bakar)

Abu telah membuka rumahnya untuk kegiatan sastra sejak tahun 1970-an, berlanjut sampai sekarang, dengan beberapa kesenjangan tetapi tetap pantas dicatat. Tahun 1980-an, penggemar sastra dan teater Denpasar seperti I Made Sukada dan Usadi Wiryatnaya sering melakukan apresiasi sastra di rumah Abu. Mahasiswa sastra juga sering hadir termasuk Sekda Kota Denpasar AA Rai Iswara ketika beliau masih menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud), Denpasar.

Made Sukada adalah dosen Fakultas Sastra Unud. Dia juga sering membuka rumahnya untuk ajang diskusi sastra. Jika ada sastrawan nasional lewat, seperti NH Dini, Made Sukada mengundang penggemar sastra untuk berdiskusi dengan novelis mantan pramugrai ini di rumahnya di Sanglah, sebelah utara pasar. Jumlah penggemar sastra dan teater waktu itu cukup banyak dan merekalah yang senantiasa menjaga denyut nadi seni sastra dan teater di Denpasar tahun 1970-andan 1980-an.

Art Centre Denpasar juga menjadi salah satu pusat kegiatan sastra dan pentas teater. Diskusi sastra berlangsung Minggu pagi. Penggemar sastra biasanya membaca puisi di Radio Menara, Jl Sulawesi Denpasar, Minggu pagi. Saya sendiri ikut membaca puisi di Radio Menara, dipandu oleh penyiar Menara seperti Rustam Warmadewa dan Soni Taovani, yang kebetulan adalah mahasiswa Fakultas Sastra.

Saat itu berkibar nama penyair nyentrik I Gusti Putu Bawa Samar Gantang karena gayanya membaca puisi di radio sangat khas. Puisi-puisi yang dibawakannya pun nyeleneh, yakni puisi-puisi yang mengeksplorasi dunia pengleakan (ilmu hitam).

Sesudah acara pembacaan puisi, teman-teman penggemar sastra biasanya bergeser ke Art Centre untuk diskusi sastra, yang biasanya dihadiri Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira, Ngurah Parsua, serta Made Sukada sendiri. Penggemar sastra ini sesekali juga kemping ke Toya Bungkah untuk berdiskusi ihwal sastra dan budaya dengan Sutan Takdir Alisjahbana, sas- trawan pelopor Pujangga Baru, yang membangun vila-vila di tepi Danau Batur.

Pada awal berdirinya, panggung terbuka Arda Chandra sudah menjadi tempat untuk pentas seni modern. Abu Bakar pernah mementaskan drama “Edan” di Ardha Chandra. Gedung Merdeka di Jalan Surapati adalah fasilitas lain yang menjadi arena diskusi sastra dan budaya setiap hari Minggu.

Untuk masa 1980-an, pantas juga disebutkan rumah dua tokoh budayawan lagi yang rumahnya dijadikan kegiatan sas-tra, yaitu rumah Prof dr. Moerdowo di pojok Jalan Melati dan Jalan Angsoka dan rumah Boyke Karang di Tanjung Bungkak.

Walikota Denpasar Rai Mantra bergambar bersama pengarang cerpen antologi cerpen "Denpasar Kota Persimpangan, Sanur Tetap Ramai", kado sastra HUT Kota Denpasar ke-227
Walikota Denpasar Rai Mantra bergambar bersama pengarang cerpen antologi cerpen “Denpasar Kota Persimpangan, Sanur Tetap Ramai”, kado sastra HUT Kota Denpasar ke-227

Model ‘Gradag-Grudug’

Pada saat yang hampir bersamaan, Sitraprana Duarsa, bersama Dige Amertha, DS Putra, Warih Wisatsana, GM Sukawidana, Landras Syailendra, dan Hartanto menyeleng-garakan bincang sastra berkala di Aula SPGN (kini SMAN 7) Denpasar. Diskusi ini kemudian berkembang menjadi arisan diskusi dan pementasan keliling Bali yang akrab dengan sebut- an diskusi sastra “Gradag-grudug”. Dalam terjemahan bebas, istilah gradag-grudug bermakna bergerak bersama-sama ke sana-kemari tanpa pola yang jelas, semacam gerombolan suporter sepak bola yang bergerak sesuka hati.

Diskusi gradag-grudug dimaksudkan sebagai pem- berontakan atas “ketertiban” bersastra (baca: berkesenian) agar muncul keriangan sekaligus kegilaan berkarya di kalangan muda. Kelak, dari diskusi ini menyuat nama-nama seperti Cok Sawitri, Sindu Putra, Made Suantha, Putu Satria Kusuma, Mas Ruscitadewi, Nanoq da Kansas, dan banyak lagi. Dari markas-nya di Jalan Kepundung, Umbu Landu Paranggi sebagai pen- jaga rubrik Sastra dan Budaya Bali Post mengipasi-ngipasi gairah ini melalui komentar-komentar provokatifnya yang khas.

Menimpali gairah ini, Pemerintah Kota Administratif Denpasar menyelenggarakan Pekan Seni Remaja (PSR) yang melombakan berbagai kegiatan bersastra dan berkesenian untuk pelajar SMA se-Kotif Denpasar. Motor penggeraknya adalah IGN Jagat Karana (alm). Pada ajang itu digelar lomba menulis puisi, menulis naskah drama, baca puisi, baca cerpen, pentas drama, pantomim, dan vocal grup. Saat itu PSR menjadi ajang kompetisi seni antar-sekolah yang sangat bergairah. Saya sendiri pernah menjadi juri lomba baca puisi, digelar di Gedung Ksirarnawa, Art Centre.

Setelah kian dewasa, para motor diskusi Gradag-grudug justru “menertibkan diri” dengan mendirikan Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali bermarkas di SPGN Denpasar. Pada masa itu bergabung penyair Tan Lioe Ie dan kemudian menyediakan rumahnya di Jalan Wahidin 39 sebagai markasnya.

Berpindah ke markas yang mudah diakses (terbuka hampir 24 jam), SMK berkembang semakin pesat. Kini nama- nama yang bertambah banyak. Ada Tan Lio Ie, Warih Wisatsana, Fajar Arcana, GM Sukawidana, Hartanto, Putu Wirata Dwikora, Landras Syailendra, Boping Suryadi, dan tentu saja nama-nama lama tetap aktif meski tak seintens sebelumnya.

Mereka menyelenggarakan banyak apresiasi sastra di berbagai tempat di Bali, menyelenggarakan lomba menulis puisi tingkat nasional, menerbitkan secara berkala jurnal CAK (Catatan Ke- budayaan). Di luar Bali, nama SMK menggema setelah tak kurang dari lima “aktivis”-nya memenangi berbagai lomba cipta puisi tingkat nasional.

Bagian Gerakan Sastra Pedalaman

Pada awal 1990-an SMK turut meriuhkan suasana debat ‘Sastra Pedalaman’, sebuah momentum untuk mengekspresikan penolakan pada Jakarta sebagai satu-satunya pusat sastra. Perkembangan sastra di daerah-daerah juga membuat daerah layak disebutkan sebagai ‘salah satu pusat’ seperti halnya Jakarta. Jadi, Jakarta bukan satu-satunya pusat.

Aktivitas mereka menjadi bagian dari ‘gerakan sastra pedalaman’. Meski demam ini tidak berlangsung lama, tapi pantas dicatat kendali sastra dari SMK karena jasanya saat itu dan tra- disi yang dibangun setelah tidak lagi bersanggar.

Sementara itu, sebagai guru pelajaran Bahasa Indonesia sekaligus pembina kegiatan bersastra di SMPN 1 Denpasar GM Sukawidana berhasil “mengompori” murid-muridnya untuk berkarya. Lahirlah belasan puisi bernas dari anak-anak cerdas asuhannya macam Aan Almaidah dan Oka Rusmini. Karya-karya itu kemudian dibukukan dalam antologi Rindu Anak Mendulang Kasih yang menarik perhatian Prof. Dr. Fuad Hasan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI saat itu.

Berada di tengah gairah bersastra yang membuncah, Fakultas Sastra Unud tak mau ketinggalan. Dari kampusnya di Jalan Nias mereka menggerakkan Lomba Drama Modern yang gaungnya menggema ke seluruh Bali. Ini menjadi acara kesenian yang bergengsi di kalangan muda saat itu. Mereka menggelar diskusi sastra setiap malam bulan purnama di Pura Jagat Natha. Berbeda dengan gelaran sastra lainnya yang menggarap sastra modern, rembug sastra ini berkonsentrasi pada sastra Bali. Kegiatan ini sempat surut di akhir 1990-an, dan pada era Walikota IB Rai Dharmawijaya Mantra ini dihidupkan kembali.

Art Centre berlanjut menjadi pusat kegiatan sastra dan teater. Senat mahasiswa Fakultas Sastra Unud menjadikan Wantilan Taman Budaya sebagai ajang lomba drama modern unutk paling tidak tiga kali berturut-turut setiap tahun mulai 1983. Belakangan, ketika harga sewa ruangan menjadi relatif mahal, Art Centre masih sesekali sebagai tempat pementasan teater dan lomba teater.

Tradisi diskusi sastra di sekolah, kampus, dan juga rumahan berlanjut terus tahun 1980-an dan 1990-an. Umbu Landu Paranggi sebagai redaktur sastra Bali Post mengawal dan menjadwalkan acara apresiasi lewat halaman budaya koran yang diasuh. Jangkauannya tak hanya Denpasar, tetapi seluruh Bali. Meski demikian, kegiatan sastra dan teater di Denpasar tentu saja yang paling keras berdenyut. Selain kantor Bali Post, kantor Kompas di kawasan Jalan Gatot Subroto (Gatsu) Tengah juga pernah menjadi tempat ngumpul-ngumpul untuk bincang sastra.

Creative Space

Seniman Kadek Suardhana sempat mendirikan Nabe- shima Creative Space di Penatih untuk pentas dan diskusi. Beberapa kali ada diskusi dan pemutaran film produk pro- duser lokal dan internasional, seperti “Bali:Island of Dogs” yang diproduksi oleh Lawrence Blair dkk dan pemutarannya diprakarsai oleh Maria Ekaristi (Eka) dan Agung Bawantara. Kini Eka dan Agung aktif menyelenggarakan Denpasar Film Festi- val dengan melakukan sub-event lomba dan pembinaan pada siswa SMA se-Denpasar untuk mengembangkan daya kreat- ifnya dalam seni film.

Warih Wisatsana membangun Sanggar Sahaja, membina sastra ke sekolah dan kampus, dan menghimpun generasi penggemar sastra baru yang belakangan aktif dalam mengelo- la event seni budaya termasuk sastra di Bentara Budaya Bali.

Kampung Puisi Di Renon

Pusat-pusat apresiasi sastra bergulir dari ruang-ruang besar dan kecil, dari kampus ke rumahan, sekolah dan studio, me- mang tidak pernah megah tetapi tidak pernah punah artinya selalu ada jika diperlukan. Sejak beberapa tahun terakhir ada oase aktivitas sastra baru yaitu Jatijagat Kampung Puisi di Renon. Para penyair yang dulu bergabung di Sanggar Minum Kopi seperti Wayan Jengki Sunarta menjadi salah satu motor penggerak aktivitas sastra di sini. Sudah terlaksana lomba baca puisi yang meriah di sini.

Yang tak kalah penting meriahnya adalah perayaan HUT Umbu Landu Paranggi 10 Agustus 2014 dan disusul HUT Frans Nadjira. Dua penyair besar Umbu dan Frans yang sulit bertemu karena gelombang imajinasi dan aktivitasnya berbe- da, pada akhirnya bertemu di Jatijagat Kampung Puisi.

Pengumuman kegiatan apresiasi yang dulu hanya lewat koran Bali Post, kini sharing info dan foto sudah melaju lewat facebook dengan segala instant atau kesegeraannya. Pantas pula dicatat kehadiran budayawan terkemuka Indonesia Emha Ainun Nadjib yang sempat berbagi di Jatijagat Kampung Puisi, justru seusai membezuk Umbu di rumah sakit Sanglah, yang saat itu opname karena ada gangguan pada paru-paru. Umbu opname sekitar seminggu bulan November 2014.

Denyut berlanjut aktivitas seni kontemporer seperti sastra, teater, dan kemudian film secara bersama-sama mendukung gerak Denpasar menjadi Kota Kreatif Berwawasan Budaya. Budaya dalama arti luas tentulah tak hanya mencakup seni tradisi tetapi juga seni modern dan kontemporer.

I NYOMAN DARMA PUTRA, DOSEN FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNUD.

Artikel ini dimuat di majalah Pemkot Kota Denpasar, Sewaka Dharma Edisi # 01 – 2015, hlm. 48-51. Terima kasih untuk Agung Bawantara dan Maria Ekaristi atas tambahan informasi untuk artikel ini.