IGB Arthanegara/ Foto Darma Putra
IGB Arthanegara/ Foto Darma Putra

Oleh I Nyoman Darma Putra

Dunia sastra Indonesia di Bali memiliki sejumlah penulis pada masa lalu. Tetapi, banyak di antaranya yang kurang dikenal sebagai sastrawan padahal karya mereka cukup banyak dan menarik.  Alasan lain, mereka kurang dikenal sebagai sastrawan adalah karena mereka menekuni profesi lain yang menutupi identitasnya sebagai sastrawan.  Ini tidak cukup untuk melupakan mereka apalagi karena karya-karyanya sudah dan tetap akan menjadi ‘warisan budaya karya sastra Indonesia’ di Bali.

I Gusti Bagus Arthanegara adalah salah satu sosok sastrawan yang nyaris terlupakan.  Dosen IKIP PGRI Bali yang pernah belajar sinologi (sastra Cina) di Cina ini lebih dikenal sebagai pendidik. Sebelum menjadi dosen, dia adalah pegawai di Kanwil Dikbud Provinsi Bali. Sebelum itu, tahun 1970-an, dia adalah pengasuh acara cerdas-cermat TVRI Denpasar.

Dengan tetap mengagumi sosoknya sebagai pendidik, tulisan ringkas ini hendak mengungkapkan sosok Arthanegara sebagai sastrawan. Lewat aktivitasnya dalam dunia sastra, kita bisa mengetahui kehidupan sastra Indonesia di Bali tahun 1960-an dan sesudahnya. Waktu itu, Arthanegara dan penyair muda lainnya seperti Yudha Paniek, Dangin Harnama, Rugeg Nataran, dan Raka Santeri aktif menciptakan puisi dan menyiarkan di koran lokal. Mereka juga rajin melakukan apresiasi sastra, aktif dalam lomba deklasi, atau membaca puisi di radio-radio.

Terus terang, saya banyak berutang budi pada Arthanegara sebagai sastrawan. Banyak karyanya seperti puisi, cerpen, esai, dan (sebuah) novel yang menjadi bagian analisis dalam artikel atau buku saya termasuk yang terbit di Belanda A literary mirror: Balinese reflections on modernity and identity in the twentieth century (Leiden: KITLV Press, 2011). Karyanya bagus, inspiratif, dan menyediakan informasi mengenai semangat nasionalisme di Bali tahun 1960-an, pada masa-masa penuh pergolakan ideologi yang memberikan pengaruh langsung pada kehidupan masyarakat.

Penyair dan Cerpenis

 Kiprah Arthanegara dalam dunia sastra pertama kali saya simak lewat sajak-sajaknya yang dimuat dalam kumpulan sajak Penyair Bali, terbitan Himpunan Pengarang Indonesia Bali (HPI Bali). Dalam antologi ini, terdapat karya 24 penyair Bali, termasuk Arthanegara, Raka Santeri, Gde Dharna, Faisal Baraas, dan Putu Widjaja (Wijaya).  Karena namanya dimulai dengan abjad A, sajak-sajak Arthanegara dipasang di halaman awal, yaitu sajak “Laut”, “Ibunda”, “Peking”, dan “Hari sudah Malam”, ditulis antara tahun 1962-1965.  Sajak pertama agak panjang, sedangkan tiga yang terakhir pendek-pendek. Salah satunya adalah:

 Ibunda
yang ia punyai adalah kecintaan
satu di antara yang pernah kulupakan
lewat hari hari kehadiranku
dulu dan sekarang

                        Februari 1962

Sajak di atas mengekspresikan secara lugas rasa insyaf kembali ‘tokoh aku’ pada ibu. Sajak ini cukup menyentuh karena mengingatkan pembacanya untuk tidak pernah lupa pada sosok ibu yang melahirkan dan mengisi hidup anak-anak dengan cinta.

Jika dilihat dari angka tahun penulisannya, terlihat bahwa Arthanegara sudah menekuni dunia sastra sejak tahun 1962, ketika dia baru berusia 18 tahun, mungkin juga sebelumnya. Selain karya di atas, dia menulis banyak puisi dan cerpen. Bahkan, secara mengejutkan, tahun 2007, Arthanegara menerbitkan novel! Luar biasa!!!

Arthanegara banyak mempublikasikan sajak dan cerpen serta artikelnya di koran Suluh Marhaen atau Suara Indonesia (keduanya nama lama Bali Post). Dia juga menulis dalam bahasa Bali, misalnya sajaknya “Geguritan Pianak Bendega” (Tembang Anak Nelayan) dimuat dalam antologi Kembang Rampe Kasusastraan Bali Anyar (1978, Jilid 2), suntingan I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa . Dia ikut menyumbangkan pikiran dalam polemik tentang ‘istilah’ drama gong awal tahun 1970-an.

Sebagai sastrawan yang menulis saat ideologi nasionalisme sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial seperti ‘Ganyang Malaysia’, Arthanegara juga menunjukkan dirinya peka terhadap situasi sosial politik. Cerpennya berjudul  “Srikandi” (Suara Indonesia 10 Oktober 1964), mengisahkan sosok sukarelawati yang berjuang ke medan perang di Kalimantan Utara, mengusir neokolonialis Inggris yang berocokol di daerah Malaysia. Cerpen ini juga bernuansa cinta, melukiskan romantika jiwa muda Arthanegara. Tokoh Srikandi berangkat ke medan tempur meninggalkan pacarnya, namun pacarnya yang semula mencegah dengan cepat mendukung keberangkatannya karena kepergian Srikandi adalah demi perjuangan bangsa dan negara. Tema cinta dan nasionalisme saling-silang dalam cerpen ini, dan cerpen Arthanegara lainnya serta penulis muda lainnya zaman itu.

Puisinya misalnya “Tanah untuk Tani” (Suara Indonesia, Minggu, 27 juni 1965, hlm.3), yang mengekspresikan sikap simpati atas perjuangan kaum tani. Arthanegara juga menulis sejumlah sajak cinta, sebagai ekspresi romantika jiwa muda lewat keindahan bahasa.

Tahun 2007, IGB Arthanegara yang tidak pernah kedengaran menulis karya sastra lagi, tiba-tiba menerbitkan novel berjudul Dunia Kampus yang Lain (2007), sebuah novel yang mengisahkan perjalanan penulisnya melanjutkan kuliah di Cina dan terpaksa pulang karena ketegangan politik pasca G30S.

Novel pendek ini layak mendapat perhatian karena novel ini penting dan ditulis oleh ‘pelaku sejarah’ mengenai kehidupan mahasiswa di tengah memanasnya hubungan diplomatik Cina-Indonesia. Saya kira, novel ini satu-satunya novel Indonesia sampai saat ini yang dilukiskan terjadi di Peking, dalam situasi membaranya poros Jakarta-Peking pasca G30S.

Ketika Prof David Hill dari Murdoch University, Perth Australia, tahu ada novel ini, dia pun memintanya dan saya mengirimkan. Saat itu, David sedang meneliti tema orang-orang Indonesia yang ada dalam pembuangan (exile) antara lain akibat insiden 1965, dan informasi naratif kemungkinan bisa dia peroleh dari novel karya GB Arthanegara yang memang melanjutkan kuliahnya di Peking waktu itu. Walaupun hanya menulis satu novel, hasil karya menawarkan kisah dan informasi yang penting. Siapa pun yang ingin melakukan kajian nasionalisme di Bali tahun 1950-an dan 1960-an, bisa menjadikan karya-karya Arthanegara sebagai salah satu sumber menarik.

Pendidik dan Penulis

 Minat dan latar belakang Arthanegara sebagai budayawan dan sastrawan ikut mewarnai lembaga tempatnya bekerja, IKIP PGRI Bali. Dia mengambil inisiatif untuk mengadakan kegiatan apresiasi dan ceramah sastra di IKIP PGRI. Arthanegara kenal baik dengan sastrawan Nh Dini, dan cukup sering mengundang sastrawan terkemuka Indonesia ini ke IKIP PGRI untuk berdiskusi dan berbagai ihwal seni sastra dengan mahasiswa.

Dia bersahabat dengan Nh Dini. Jika Nh Dini ke Bali tahun 1980-an untuk pelesir atau diskusi sastra, Arthanegara selalu mengantarnya dan menghadiri diskusi sastranya. Awal tahun 1980-an, sastrawan wanita Indonesia ini pernah berdiskusi di kediaman I Made Sukada (dosen Faksas Unud). Arthanegara hadir waktu itu.

Jiak diajak berbicara sastra, IGB Arthanegara sungguh fasih. Bukan saja mengenai apa yang dilakukan bersama kawan-kawan penulis Bali pada masa lalu, tetapi juga apresiasinya mengagumkan terhadap sastra dan drama penulis Indonesia. Dia dengan lincah bisa bertutur tentang sajak-sajak Kirjomulyo, novel Nh Dini, atau drama Motinggo Boesje seperti “Malam Jahanam”.

 IGB Arthanegara juga fasih berbicara tentang pertumbuhan drama gong di Bali. Ketika terjadi polemik soal drama gong tahun 1960-an, dia ikut menyumbangkan fikirannya. Selain menulis sastra, IGB Arthanegara juga menyampaikan ide-idenya lewat karya tulis tentang seni pertunjukan atau kebudayaan pada umumnya.

 Akhir kata, dengan menunjukkan beberapa karya sastranya dan aktivitasnya dalam dunia seni budaya dulu dan belakangan ini, cukup kiranya digunakan untuk mengingatkan kita bahwa Arthanegara adalah sosok sastrawan kreatif pada zamannya. Kreativitas dan karyanya memberikan kita bayangan tentang kehidupan sastra Indonesia di Bali tahun 1960-an dan dekade berikutnya.

Dimuat di harian Bali Tribun, Sabtu, 25 Januari 2013.