Media Indonesia, Jumat, 22 Oktober 2010 03:56 WIB     

Salah satu adegan drama tari arja 'Katemu ring Tampaksiring' yang menampilkan tokoh wartawan Belanda, Van Steffen dan Luh Rai. Arja ini disutradarai oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia,M.A.

JAKARTA–MICOM: Wacana post-kolonial dalam Sastra Bali modern tidak hanya berisi kisah perang, darah, dan air mata tetapi juga isu-isu kemanusiaan yang menyentuh, kata Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud) Denpasar, Dr I Nyoman Darma Putra, MLitt.

Kenyataan itu antara lain tercermin dalam cerita pendek klasik berbahasa Bali berjudul Katemu ring Tampaksiring, kata doktor lulusan Universitas Queensland, Brisbane, Australia, yang kini menjadi visiting fellow di KITLV Leiden Belanda itu. 

Dalam penjelasannya, Kamis (21/10), Darma Putra mengungkapkan bahwa perihal wacana post-kolonial dalam Sastra Bali itu sempat ia bahas dalam seminar kajian Indonesia di Universitas Leiden, Belanda, pada Rabu (20/10).

Seminar sehari bertajuk History, Culture, and Identity in Colonial and Post Colonial Indonesia” yang diselenggarakan Stichting Sapu Lidi dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Leiden itu menghadirkan 14 orang pembicara dari berbagai bidang ilmu seperti sejarah, antropologi, sastra dan kajian budaya, seni pertunjukan, politik, dan pendidikan.

Topik yang dibahas dalam seminar untuk memperingati satu dasawarsa Yayasan Sapu Lidi itu pun beragam dari sejarah pabrik gula, land-reform (reformasi agraria), sampai dengan pendidikan damai pascakonflik Maluku, katanya.  

Kumpulan cerpen 'Katemu ring Tampaksiring" karya I Made Sanggra edisi awal dan cetakan baru dalam tiga bahasa: Bali, Indonesia, Inggris (kanan)

Dalam makalahnya berjudul “Teks, Pentas, Identitas” itu, Darma Putra membahas cerita pendek klasik berbahasa Bali yang pernah diangkat menjadi lakon drama tari arja itu dengan menjadikan sisi lain kolonialisme Belanda sebagai fokus uraiannya.

Cerpen Katemu ring Tampaksiring karya Made Sanggra (1926-2007) ini mendapat inspirasi dari kunjungan Ratu Juliana ke Indonesia tahun 1971. “Ketika mengunjungi Bali, Sang Ratu menginap di Istana Tampaksiring, desa yang kemudian menjadi latar cerita,” katanya.

Dalam cerpen itu dikisahkan seorang wartawan Belanda yang meliput kunjungan Ratu Juliana. Wartawan ini jatuh hati kepada pedagang cendera mata di Tampaksiring.

 “Di akhir cerita terungkap bahwa wartawan Belanda dan gadis Bali itu sebetulnya bersaudara, dari pasangan wanita Bali dengan sersan Belanda dari zaman revolusi,” katanya.

“Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, pasangan itu bercerai, satu anak laki-lakinya yatim piatu di Belanda kemudian menjadi wartawan, satu lagi wanita lahir kemudiannya di Bali tanpa ayah,” tambah Darma Putra.

Cerita ini menjadikan kunjungan kenegaraan Ratu Juliana media bagi sang wartawan untuk menemukan jati dirinya, dan identitas adiknya di Bali.  “Pertemuan kakak, adik, dan ibu sangat menyentuh dan mengharukan,” kata dosen Fakultas Sastra Unud ini. 

Menurut Darma Putra, pertemuan kakak, adik, ibu dalam cerpen itu tidak saja menunjukkan pentingnya identitas untuk mencegah inses   tetapi juga menunjukkan sisi lain dari kolonialisme.

“Penjajahan tidak saja cerita kekejaman tetapi juga tentang persaudaraan dan keharuan keluarga,” kata Darma Putra.

Elemen modern dari interaksi orang Belanda dengan orang Bali dalam cerpen ini memberikan identitas baru dalam sastra Bali modern. “Cerita ini sangat popular di Bali. Ia dijadikan bahan bacaan di sekolah menengah tahun 1970-an, dicetak ulang tahun 1980-an, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tahun 2004,” katanya.

Pada 2005, cerpen ini diangkat ke dalam pentas dramatari arja. Dramatari arja biasanya menganggat cerita panji, istana sentris. “Ini memang bukan fenomena baru dalam seni pertunjukan dramatari Bali karena tahun 1930-an, arja sudah memainkan cerita ‘impor’ atau ‘modern’ seperti Sam Pek Ing Thay dan Nyai Dasima,” katanya. 

Adopsi cerpen Katemu ring Tampaksiring sebagai lakon memperkuat identitas modern seni tradisional Bali, katanya. “Tradisi dan modernitas bukanlah konsep yang bisa dibedakan secara hitam-putih,” kata Darma Putra.

Seminar sehari itu diikuti sekitar 50 peserta. Sebagian besar adalah mahasiswa Indonesia yang menempuh program pascasarjana di Belanda, mahasiswa Indonesia yang melakukan program sandwich dan dosen yang sedang melakukan penelitian di Belanda untuk program academic recharging penulisan buku. (Ant/OL-2)

sumber Media Indonesia: http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/22/176897/90/14/Post-Kolonial-Sastra-Bali-Urai-Kisah-Kemanusiaan