Jalan Gunung Agung yang biasanya ramai, jadi lengang saat Nyepi, Maret 2010.

Ada beberapa insiden menarik dalam perayaan hari Nyepi tempo doeloe, seperti deru mobil milik perusahaan kolonial Belanda yang memecah kesunyian Nyepi tahun 1936 hingga pembongkaran toko arloji oleh pencuri pada hari Nyepi tahun 1970. Selain itu, menarik juga menyimak bagaimana bunyi ucapan ‘Selamat Hari Nyepi’ yang dimuat di koran di Bali di masa lalu, dibandingkan dengan iklan serupa belakangan ini.

Pada hari Nyepi tahun 1936, dilaporkan ada insiden kecil. Begini kisahnya.

Saat itu suasana Bali sunyi sepi. Warga tinggal di rumah, sementara di jalanan, hanya kelihatan petugas patroli (kini petugas itu disebut dengan pecalang). Kesunyian tiba-tiba pecah karena ada mobil yang mengangkut bulè lewat. Pecalang menghentikan mobil itu. Sang sopir tidak gentar, malah dengan percaya diri dia mengatakan bahwa mereka bekerja untuk KPM.

KPM adalah Koninklijke Paketvaart Maatschappij, perusahan pelayaran Belanda yang mengoperasikan kapal dagang dan kapal wisata di jalur Jawa-Bali-Sulawesi serta menjadi pemilik dan pengelola Bali Hotel (Jalan Veteran Denpasar) yang dibangun 1928.

Setelah mendengar bahwa kendaraan itu milik KPM, pecalang mundur ketakutan, mempersilakan kendaraan yang mengangkut bulè itu lewat. Pecalang tidak bisa berkutik karena pada zaman kolonial, suka atau tidak, Bali adalah milik Belanda, ‘milik KPM’. Kuasa ada di tangan mereka, tradisi dan budaya dikalahkan.

Kisah Nyepi di Bali tahun 1936 itu dikisahkan antropolog Dr. Margaret Mead dalam sepucuk suratnya yang dikirim dari Bali ke negerinya. Surat itu dikutip oleh Tessel Pollmann dalam artikel “Margaret Mead’s Balinese: The Fitting Symbols of the American Dream”  dimuat dalam jurnal ilmiah Indonesia ( Vol. 49. [Apr., 1990], pp. 1-35.). Margaret Mead-lah bulè yang menumpang kendaraan KPM waktu itu. Mead tiba di Bali pas hari Nyepi. Dia didampingi suaminya, Gregory Bateson, juga seorang antropolog.

Hari pertama di Bali, Mead dan Bateson pergi ke Ubud, bertemu Walter Spies, pelukis dan direktur Museum Bali waktu itu. Di sana, Mead dan Bateson bertemu banyak sarjana Barat yang melakukan riset di Bali, antara lain Beryl de Zoete, partner Spies dalam menulis buku Dance and Drama in Bali (1937).

Mead dan Bateson melakukan penelitiannya di Bayung Gede, Bangli, dan tahun 1942 menerbitkan buku Balinese Character: A Photographic Analysis (Karakter orang Bali, Sebuah Analisis Fotografi).

Nyepi dan Semangat Revolusi

Suasana perayaan Nyepi di Bali diwarnai suasana sosial politik zamannya. Kalau pada zaman kolonial, kuasa atas budaya dan tradisi ada di tangan pemerintah penjajah, setelah kemerdekaan perayaan Nyepi diwarnai semangat kebangsaan dan revolusi.

Tahun 1960-an, ketika semangat revolusi sedang berobar-kobar, ucapan-ucapan untuk perayaan Nyepi juga berisi kata-kata ‘revolusi’. Hal ini bisa dilihat dari iklan-iklan ucapan selamat Nyepi yang dipasang di surta kabar ketika itu.

Simaklah iklan selamat Nyepi tahun 1966 dari Gubernur Bali. Salah satu kata kunci dalam iklan ini adalah ‘revolusi’. Di dalam iklan itu terungkap harapan agar Ida Sang Hyang Perama Kawi melimpahkan harapan-Nya kepada kita sekalian dalam kita menenuaikan tugas dalam memenangkan revolusi kita yang mahabesar untuk mencapai keagungan dan kejayaan Nusa dan Bangsa Indonesia yang adil dan makmur. Konteks politiknya terasa sangat kental.

Iklan selamat hari raya Nyepi dari pejabat Gubernur Bali dalam suasana revolusi, dimuat koran Suluh Indonesia edisi Bali (kini Bali Post), Maret 1966. File Darma Putra.

Pesan serupa juga terlihat dalam iklan Nyepi yang dipasang PT GIEB (Gabungan Impor dan Ekspor Bali). Iklan untuk Nyepi 1966 itu berisi ajakan kepada masyarakat menyambut Nyepi dengan ‘prihatin’. Kemudian ditulis: ‘Mari kita tingkatkan kewaspadaan untuk menyelesaikan revolusi guna memenuhi Ampera’. Ampera artinya amanat penderitaan rakyat. Ucapan Nyepi dijadikan arena untuk menyisipkan pesan politik.

Iklan Nyepi GIEB yang dimuat koran Suluh Indonesia edisi Bali (kini Bali Post), 29 Maret 1966. File Darma Putra.

Pada zaman dulu, perayaan Nyepi di Bali tidak seragam dari desa satu ke desa lain. Kecuali pada ketentuan amati geni yang biasanya ditandai dengan malam tanpa lampu, konsep amati lelungan (tidak bepergian) ditafsirkan secara berbeda.

Di beberapa desa, warga memang tinggal di rumah saat Nyepi, tetapi di desa lainnya warga justru ke luar rumah, rame-rame di jalan hanya saja mereka tidak mengendarai mobil, motor, atau sepeda. Nyepi justru dijadikan untuk ngumpul di ruang publik, yang penting tidak mengendarai kendaraan. Anak-anak main kasti atau loncat karet di jalan raya. Kalau ada pecalang, barulah mereka masuk rumah, dan ke luar lagi kalau pecalang menghilang.

Nyepi juga dimanfaatkan pencuri untuk beraksi. Menurut catatan, pada Nyepi tahun 1970, yang jatuh 9 Maret, Toko Djaja Agung di Jalan Gajah Mada Denpasar mengalami kecurian. Toko yang menjual arloji ini kehilangan 89 jam tangan, kerugian ditaksir Rp 200 ribu-300 ribu.

Tetapi, pencuri itu malang. Esoknya, dia ditangkap seorang jaksa di Tabanan karena gerak-geriknya mencurigakan. Pencuri itu menawarkan jam berkualitas baik dengan harga murah. Setelah digeledah, ternyata dia membawa arloji sebanyak jam yang diambil di Toko Djaja Agung.

Berita pencurian saat Nyepi 1970, Suluh Marhaen 11 Maret.
Berita pencurian saat Nyepi 1970, Suluh Marhaen 11 Maret.

Sebagai daerah pariwisata, Bali menghadapi banyak cobaan untuk membuat Nyepi agar dapat berlangsung senyap dan khidmat.  Kalau kendaraan bisa ditsop, pesawat terbang rada sulit. Pada Nyepi tahun 1969 yang jatuh 20 Maret 1969, misalnya, Bupati Badung dan Gubernur Bali menolak permohonan Garuda terbang pada hari Nyepi, kalau transit saja boleh. Nyatanya, penerbangan yang dianggap sebagai aktivitas dengan koneksitas internasional waktu itu jalan terus.

Akibatnya jelas, pegawai biro perjalanan dan hotel, harus mendapat dispensasi untuk menjemput dan mengantar tamunya ke bandara. Antara 1970-an sampai kira-kira 1990-an, banyak karyawan yang bekerja di sektor pariwisata meminta dispensasi untuk bekerja saat Nyepi. Karena masyarakat yang merayakan Nyepi merasa terganggu, jumlah dispensasi makin ditekan.

Baru sesudah reformasi, sejak tahun 1999/2000, pemerintah daerah dan lembaga masyarakat lainnya bisa mendesak pemerintah untuk menutup Bandar Udara Ngurah Rai saat Nyepi. Kini pelabuhan dan Bandara tutup sepenuhnya untuk semua penerbangan pada hari Nyepi. Tidak akan ada wisatawan seperti Margaret Mead dan Gregory Bateson yang tiba pas Nyepi di Bali.

Dewasa ini, pecalang bisa menertibkan Nyepi dengan optimal antara lain juga karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk Nyepi yang khusyuk dan hening. Media massa juga mendukung usaha itu. Beberapa televisi termasuk jaringan Indovision mulai menghentikan siarannya ke wilayah Bali saat Nyepi.

Bali Post, 28 Maret 2014
Bali Post, 28 Maret 2014

Perubahan suasana perayaan Nyepi juga bisa disimak lewat ucapan-ucapan iklan di media massa. Ucapan selamat Nyepi yang dipasang sebagai iklan di media massa di Bali dewasa ini tampil dengan pilihan kata yang berbeda.

Kalau dulu, seperti terlihat tahun 1960-an, pilihan kata ucapan selamat dan doa menjadikan kata ‘REVOLUSI’ sebagai salah satu kata kunci, sesuai dengan zaman saat itu. Tahun 2014, ucapan selamat seperti itu kata kuncinya antara lain ‘damai’ dan ‘keseimbangan semesta’ . Keseimbangan dan kedamaianlah yang rupanya dianggap penting jaman ini.

Selamat Hari Suci Nyepi. (Darma Putra)

 

Iklan di Bali Post, 28 Maret 2014
Iklan di Bali Post, 28 Maret 2014