Bali Post, Kamis, 13 Nopember 2008
Oleh I Nyoman Darma Putra

dream-land-in-south-bali-by-darma-putra-21Wisatawan Australia tampaknya akan tetap berdatangan ke Bali dalam liburan Natal dan Tahun Baru ini, walaupun ada travel warning dari pemerintahnya. Berita-berita genting menjelang dan pasca-eksekusi terpidana mati bom Bali (9 November) tampaknya tidak mengurungkan niat banyak warga Australia untuk berlibur ke Bali.

 

Surat kabar The Canberra Times, Senin (10/11) dalam berita berjudul ‘Schoolies undeterred by Bali warnings’ menyebutkan bahwa travel warning tidak mengalihkan minat anak-anak sekolah SMA yang tamat akhir tahun ini untuk datang ke Bali. Mengutip Hayden Long dari Flight Centre, koran yang terbit di ibu kota Australia itu menegaskan bahwa memang ada sejumlah anak yang memilih Fiji karena takut ke Bali, tetapi masih banyak orang yang tetap dengan rencana semula untuk menikmati liburan akhir tahun di Bali.

Daya tarik Bali sebagai tujuan wisata bagi wisatawan Australia begitu kuat dan ini bisa diwakili oleh pernyataan Samanta Smith, remaja 19 tahun dari Mona Vale, kota pantai Utara Sydney. Dia dikutip mengatakan bahwa ‘Bali has got everything’ (Bali memiliki segalanya). Samanta mengatakan senang ke Bali karena dia mencintai orang Bali, mentari, dan shopping (I love the people, the sun, the shopping).

Bagi orang-orang usia lanjut, daya tarik Bali karena jaraknya dekat, bisa ditempuh antara 3-6 jam dari Australia. Orang-orang pensiunan di Australia yang memiliki cukup uang tidak mampu lagi terbang untuk tur ke Eropa dan Amerika yang memakan waktu di atas 15 jam. Bali adalah pilihan ideal.

Travel warning bagi Australia memang sudah ada sejak bom Bali 2002, dan selalu diungkapkan dengan bahasa lain sebagai penegasan jika ada hal-hal yang dianggap gawat terjadi, seperti dalam proses eksekusi tiga terpidana bom Bali, si AMIS — Amrozy, Muklas, Imam Samudra. Berbeda dengan Amerika yang sudah mencabut travel warning beberapa waktu lalu, Australia tetap memberlakukannya karena pemerintahnya selalu merasa mempunyai alasan kuat untuk mempercayai adanya potensi serangan teroris.

Berita-berita media massa Australia belakangan ini memang banyak berisi hal-hal yang genting terkait dengan isu akan adanya balas dendam dari kelompok teroris. Namun, perlu dicatat bahwa, di samping berita-berita gawat seperti itu, media massa juga tidak bisa mengabaikan realitas lain, yaitu situasi aman dan damai di Bali dan kenyataan bahwa di tengah riuhnya travel warning dari Menlu Stephen Smith, warga Australia tetap bepergian ke airport untuk terbang menikmati liburannya ke Bali.

Televisi Channel 7 yang menyiarkan berita eksekusi dari Tenggulun dan Bali juga menayangkan situasi rileks di pantai Kuta, suasana tenang di Bandara Ngurah Rai, dan pesta gembira di pub-pub di Kuta/Legian sampai larut malam. Koran The Sydney Morning Herald, Senin (10/11) memuat berita warga Australia di Bali melaksanakan apa yang mereka sebut No Fear Party (pesta tidak takut), disertai foto mereka tertawa lebar, mengesankan bahwa di Bali situasi berjalan normal, aman-aman saja.

Semua pemberitaan ini bisa menyeimbangan suasana ketakutan yang mungkin dapat ditebarkan oleh berita gawat sesudah eksekusi pelaku bom Bali.

Mengapa Tetap ke Bali?

Ada sejumlah alasan mengapa orang Australia tetap berlibur ke Bali belakangan ini walaupun ada peringatan dari pemerintahnya. Pertama, dorongan pikiran sekelompok orang yang berpendapat bahwa perasaan takut ke Bali tidak ada gunanya karena itu hanya menunjukkan bahwa ‘teroris menang’. Pikiran seperti ini sudah muncul sejak tahun 2002, pascabom pertama, dan bergema lagi setelah bom 2005, dan begitu seterusnya setiap ada travel warning. Berlibur ke Bali bisa dijadikan tanda bagi mereka bahwa mereka tidak ingin membiarkan teroris merasa menang.

Kelompok ini juga sering berkata bahwa berlibur ke Bali berarti membantu masyarakat Bali yang ekonominya banyak tergantung dari pariwisata. Mereka menyadari bahwa serangan teroris di Bali juga terjadi karena faktor orang Australia yang dijadikan target teroris. Oleh karena itu, menurutnya, tidak sepantasnya Australia ‘meninggalkan’ Bali. Mereka ingin membantu dan menguatkan keyakinan masyarakat Bali untuk tidak pernah takut menghadapi ancaman terorisme.

Kedua, biaya berlibur ke Bali relatif murah, jauh lebih murah dibandingkan biaya berlibur di dalam negeri Australia sendiri. Bayangkan, sewa kamar hotel bintang 3 di kota Melbourne adalah $ 130/malam dan itu tidak memberikan makan pagi sama sekali. Mahal sekali tetapi itulah harga rata-rata tarif kamar hotel di Australia. Liburan ke Bali memberikan banyak bonus seperti makan pagi, dinner, spa dan bahkan tur, sesuatu yang tidak ada di Australia karena semuanya harus dibayar dengan mahal.

Ketiga, menjelang akhir tahun ini, maskapai penerbangan yang terbang di jalur Bali-Australia sedang menambah frekuensi penerbangan atau membuka jalur baru. Garuda Indonesia dan Vrigin Blue (Australia) misalnya mulai Desember ini membuka penerbangan langsung Brisbane-Bali, sementara JetStar yang menggantikan Qantas semakin menambah frekuensi penerbangan ke Bali lewat berbagai kota seperti Perth, Adelaide, dan Darwin.

Maskapai-maskapai penerbangan ini sejak sebelum eksekusi dan pasca-esksekusi secara gencar berpromosi di media massa, termasuk televisi. Promosi JetStar misalnya menunjukkan suasana pantai di Bali dan Puri Ubud. Walaupun gambar itu tampak sekilas, tetapi karena disiarkan berulang-ulang, promosi ini ikut mempengaruhi minat warga Australia ke Bali.

Keempat, banyak warga Australia yang sudah memesan tiket dan paket liburan Desember ke Bali beberapa bulan sebelum ‘kegawatan berita eksekusi’ dan travel warning muncul gencar di media massa. Dalam tingkat travel warning level 4 seperti sekarang, pihak penerbangan dan travel agent tidak akan mengganti uang untuk tiket/paket tur yang sudah dibeli. Daripada uang hangus maka mereka yang termasuk anak-anak sekolah yang tamat tahun ini tetap dengan rencana semula pergi ke Bali.

Memang ada penerbangan yang memberikan kelaluasaan untuk mengganti tanggal keberangkatan tanpa kena biaya ganti reservasi yang besarnya sampai $ 55/tiket, tetapi kalau batal berarti uang hangus. Kalau mereka membatalkan berarti uang mereka hangus. Penggantian uang hanya dilakukan jika travel warning sudah mencapai level 5.

Tampaknya yang akan lebih menentukan warga Australia berlibur ke Bali/Indonesia bukanlah masalah keamanan tetapi nilai tukar dollar mereka. Kalau nilai dolar mereka yang sempat turun beberapa minggu terakhir atas rupiah, bisa normal kembali atau malah lebih tinggi dalam gejolak krisis finansial dunia, mereka akan gembira berlibur ke Bali.

Tantangan untuk masyarakat dan pemerintah di Bali dan Indonesia secara umum sekarang ini adalah agar tetap menjaga situasi keamanan dan jangan lalai. Masyarakat perlu memberikan pelayanan terbaik kepada wisatawan mancanegara terutama Australia yang datang ke Bali tidak semata-mata untuk berlibur tetapi untuk menunjukkan solidaritas dan komitmen mereka mendukung ketabahan kita dalam menghadapi ancaman terorisme. Menyia-nyiakan dukungan mereka sama dengan menghancurkan industri pariwisata Bali.

Penulis, tinggal di Brisbane, Australia

http://www.balipost .co.id/mediadeta il.php?module= detailrubrik& kid=1&id= 970