Buku sastra Bali modern yang terbit sepanjang 2010, berupa antologi cerpen, puisi, dan novelet. Foto: Darma Putra.
Buku sastra Bali modern yang terbit sepanjang 2010, berupa antologi cerpen, puisi, dan novelet. Foto: Darma Putra.

Perkembangan sastra Bali modern (sastra yang ditulis dalam bahasa Bali dalam bentuk modern seperti puisi, cerpen dan novel) dalam lima tahun terakhir ini semarak sekali. Kesemarakannya tak hanya ditandai dengan munculnya karya-karya asli yang beberapa di antaranya sudah meraih hadiah sastra Rancage, tetapi juga muncul banyak karya terjemahan ke dalam bahasa Bali atas karya-karya sastra berbahasa Indonesia.

PUISI-PUISI karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono sudah muncul dalam versi bahasa Bali. Begitu juga cerpen-cerpen karya Mocthar Lubis, Budi Darma, Ajip Rosidi dan Umar Kayam. Novel-novel karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Panji Tisna juga sudah muncul dalam versi bahasa Bali. Sebagian karya terjemahan itu terbit dalam bentuk buku yang dicetak secara amat sederhana dan dijual di toko-toko buku, sebagian lainnya menghiasi halaman majalah sastra seperti Buratwangi dan Canangsari.

Usaha alih-bahasa ini dilakukan oleh sastrawan Bali modern yang sehari-hari juga banyak menulis karya asli dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Mereka adalah I Nyoman Manda, Made Sanggra, Windhu Sancaya, Raka Kusuma dan Komang Beratha. Di antara penerjemah itu, Nyoman Manda yang paling produktif. Dialah yang menerjemahkan ke dalam bahasa Bali antologi puisi “Deru Campur Debu”-nya Chairil Anwar, “Tirani” dan “Benteng”-nya Taufiq Ismail, “Sukreni Gadis Bali”-nya novel Panji Tisna, “Layar Terkembang”-nya STA, dan cerpen “Di Tengah Keluarga”-nya Ajip Rosidi, “Bawuk”-nya Umar Kayam dan “Gauhati”-nya Budi Darma.

Yang tak kalah produktifnya adalah Made Sanggra. Dia sudah menerjemahkan cerpen Umar Kayam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Terjemahan ini diterbitkan oleh Yayasan Obor (1999) dalam buku berjudul “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” yang berisi terjemahan cerpen tersebut dalam 14 bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, Madura, Toraja, dan Bugis.

Made Sanggra juga menerjemahkan cerpen “Bromocorah”-nya Mocthar Lubis dan diterbitkan di Bali Post dan cerpen Nyoman Rasta Sindhu “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” — cerpen yang pernah terpilih sebagai cerpen terbaik majalah sastra Horison tahun 1968. Terjemahan Made Sanggra ini dimuat dalam antologi puisi dan cerpen Bali modern berjudul “Goak Mabunga Sandat” (Gagak Berbunga Sandat). Dalam antologi ini, Made Sanggra juga menerjemahkan sajak “Aku” Chairil Anwar.

Penerjemah lain, Raka Kusuma mambahasabalikan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan diterbitkan dalam antologi dwibahasa berjudul “Sunaran Bulan Tengah Lemeng” (Cahaya Bulan Tengah Malam) tahun 1999. Puisi dalam antologi ini diambil dari dua antologi Sapardi, yaitu “Hujan Bulan Juni” dan “Perahu Kertas”. Sementara itu, Komang Berata menerjemahkan sembilan puisi Chairil dari kumpulan “Aku Ini Binatang Jalang”, dimuat dalam majalah Buratwangi (edisi Januari-April 2002).

Daftar terjemahan di atas menunjukkan bahwa karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Bali semuanya hasil karya pengarang terkemuka, yang telah menjadi bagian kanon sastra Indonesia. Kerap dan banyaknya sajak-sajak Chairil muncul dalam bahasa Bali menunjukkan bahwa nama Chairil masih menduduki puncak popularitas di kalangan sastrawan Bali.

Bagian Integral
Usaha terjemahan karya sastra dari satu bahasa ke bahasa lain merupakan hal biasa dan bagian integral dari perkembangan sastra bersangkutan. Hal ini juga benar untuk perkembangan sastra-sastra daerah di Indonesia. George Quinn (1984) menunjukkan bahwa perkembangan sastra Jawa modern ditandai dengan terbitnya sejumlah novel terjemahan. Contohnya, “Robinson Grusu” (1881) terjemahan dari “Robinson Crusoe”, kisah-kisah “Sewu Setunggal Dalu” dari “Thousand and One Nights”, kisah Aladin, dan lain-lain.

Hal yang sama juga terjadi dalam sastra Sunda pada pertengahan abad ke-19. Ajip Rosidi (1983) menyebutkan bahwa pengarang Sunda H. Muhammad Musa, selain menulis karya orisinal juga menyadur dongeng “La Fontaine” menjadi “Dongeng-dongeng Pieunteungeun” (dongeng-dongeng cermin hidup). Yang dijadikan sumber oleh Musa adalah “La Fontaine” versi Jawa yang ditulis C.F. Winters, seorang Belanda yang ahli bahasa Jawa. Karya terjemahan ini pertama-tama tentu memperkaya kosa sastra Jawa dan Sunda.

Dibandingkan sastra Sunda dan Jawa anyar, sastra Bali modern yang muncul awal 1910-an, bebas dari hadirnya karya terjemahan. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa cerpen-cerpen awal karya Made Pasek, Mas Nitisastro, Made Gelgel dan Wayan Jiwa, yang menandai lahirnya sastra Bali modern adalah karya-karya asli. Meski demikian, dalam perkembangan selanjutnya, sastra Bali modern juga menerima kontribusi sastra terjemahan.

Usaha menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali dimulai akhir 1960-an. Pelopor di bidang ini adalah penyair Ketut Suwidja yang menerjemahkan puisi “Wind” karya Boris Pasternak menjadi “Angin”, dimuat dalam harian Angkatan Bersendjata edisi Nusa Tenggara tahun 1968. Sesudah ini, karya terjemahan muncul sewaktu-waktu saja, sebelum akhirnya menjadi begitu semarak dalam lima tahun terakhir ini.

Gairah Kreativitas
Kegandrungan sastrawan Bali membahasabalikan sastra Indonesia bisa dilihat sebagai usaha untuk menampung gairah kreativitas. Nyoman Manda, misalnya, seperti dicantumkan dalam pengantar terjemahan “Deru Campur Debu” merasa sangat kagum pada sajak-sajak Chairil. Rasa kagum inilah yang mendorongnya untuk mengapresiasi karya Chairil dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Bali. Selain itu, Nyoman Manda ingin menguji kemampuan bahasa Bali untuk mengekspresikan gagasan-gagasan modern. Berdasarkan pengalamannya, bahasa Bali terasa miskin untuk menerjemahkan gagasan dalam karya sastra Indonesia, terutama untuk karya sastra yang tidak bertema budaya Bali. Penerjemahan sastra Indonesia ke dalam bahasa Bali juga penting dilihat dalam konteks perkembangan sastra Bali modern. Sejak awal kelahirannya, kehidupan sastra Bali modern bisa dikatakan bagai “kerakap tumbuh di batu” alias hidup segan mati tak mau. Usaha memajukan banyak ditempuh tahun 1970-am tetapi tidak bisa memberikan hasil menggembirakan. Terbatasnya penerbitan adalah salah satu kendala.

Namun, menyusul terbitnya dua majalah berbahasa Bali, Canang Sari dan Buratwangi tahun 1999, karya-karya yang siap terbit sangat terbatas. Redaktur kesulitan mencari naskah. Dalam konteks inilah karya menunjukkan manfaatnya. Raka Kusuma dan Komang Berata sering mempublikasikan karya terjemahan dalam majalah Buratwangi yang mereka kelola, termasuk sajak-sajak Chairil yang disediakan dua halaman penuh. Karya terjemahan tersebut dimuat berdampingan dengan karya asli penulis pemula sehingga bisa dipakai bahan perbandingan tentang contoh “modern” sajak yang baik. Di samping itu, bersamaan dengan karya asli, karya terjemahan bisa menjawab permintaan akan terbatasnya jumlah teks yang bisa dijadikan materi pengajaran oleh para pengajar bahasa dan sastra Bali (dari SD sampai perguruan tinggi). Di era otonomi daerah yang membuka peluang lebih luas untuk pemasukan muatan lokal, tersedianya karya sastra Bali modern (asli dan terjemahan) secara memadai jelas merupakan hal yang sangat ideal. Hal ini tak hanya benar untuk dunia pendidikan, tetapi juga untuk mendukung bangkitnya wacana identitas Bali.

Masalah Pem-Bali-an
Penerjemahan bukanlah proses yang gampang, apalagi untuk karya sastra. Kandungan budaya teks sumber selalu menjadi kendala dalam proses pemindahan ke dalam bahasa target. Makanya, sangat mudah menerima komentar Nyoman Manda ketika dia mengatakan bahwa jauh lebih mudah menerjemahkan ke dalam bahasa Bali novel “Sukreni Gadis Bali” dibandingkan novel “Layar Terkembang”. Ini terjadi karena novel pertama berlatar belakang budaya Bali.

Selain faktor kandungan budaya teks sumber, faktor yang juga menyulitkan penerjemahan ke dalam bahasa Bali adalah karena bahasa Bali memiliki tingkatan (sor-singgih). Ada ragam bahasa halus dan ada ragam bahasa biasa (kasar). Sajak “Aku” Chairil Anwar tidak tepat jika diterjemahkan dengan ragam bahasa “halus” dan juga tidak pas jika dituangkan ke dalam “bahasa kasar”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa halus, maka kata “aku” menjadi titiang, sedangkan dengan ragam-kasar menjadi icang. Kedua ragam bahasa Bali ini tidak mampu mengekspresikan karakter lugas dan penuh vitalitas sajak-sajak Chairil Anwar.

Kesulitan lain adalah karena bahasa Bali tidak mempunyai istilah untuk kata ganti orang kedua jamak (“kami” dan “kita”) dan kata ganti orang ketiga (mereka). Masalah ini misalnya dihadapi Made Sanggra ketika menerjemahkan cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Kalimat pertama cerpen ini yang berbunyi: “Mereka duduk bermalas-malasan di sofa”, diterjemahkan menjadi “Ipun sareng kaliha”, yang secara kata demi kata dalam bahasa Indonesia berarti “dia berdua”, bukan “mereka”. Kebetulan dalam konteks cerpen ini, kata “mereka” mengacu pada dua orang (Marno dan Jane). Penerjemahan ke dalam bahasa Bali akan selalu direpotkan oleh pencarian kata ganti. Agaknya kesulitan seperti itulah yang membuat Raka Kusuma ketika menerjemahkan sajak-sajak Sapardi, seperti, “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari”, menghilangkan begitu saja kata ganti “kami”. Akibatnya makna sajak mengalami distorsi. Penciutan makna seperti itu merupakan hal lumrah dalam karya terjemahan.

Dalam kesulitan seperti di atas, penerjemah Komang Berata melakukan terobosan yang sangat berani ketika menerjemahkan sajak-sajak Cahiril Anwar dari kumpulan “Aku Ini Binatang Jalan”. Dia tak hanya mengganti kata ganti “aku” dengan padanan titiang (aku), tetapi juga dengan kata ganti lain seperti beli (kakak), sedangkan kata ganti “kau” diganti dengan kata Nyoman (nama awal orang Bali untuk anak ketiga). Sajak “Aku” yang judul dan bait pertamanya berbunyi: “aku / kalau sampai waktuku / kumau tak seorang ‘kan merayu / tidak juga kau” diterjemahkan menjadi: “yening teka pingenan beline / sinah beli ten wenten ane nungkulang / Ten masih Nyoman”.

Pemakaian padanan kata ganti beli dan Nyoman jelas mengubah isi sajak secara substantif. Dalam teks sumber, kata “aku” dan “kau” tidak memiliki acuan yang pasti. Kata “aku” bisa berarti “penyair” (Chairil) atau “pembaca”, sedangkan kata “kau” bisa berarti “pendengar”. Sajak “Aku” bisa dianggap sebagai dialog antara “penyair” dengan “pembaca”-nya. Dalam terjemahan Komang Berata dialog terjadi antara “seorang kakak” dengan adiknya yang bernama Nyoman. Komang Berata juga memasukkan subjek Nyoman dalam terjemahan sajak Chairil Anwar yang lain, yaitu “Kerawang Bekasi”. Baris yang berbunyi : “Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi” diterjemahkan menjadi “Tiang ngeraos tekening Nyoman nuju galang di petenge ane mungmung”. Kata ganti “-mu” dalam “padamu” diterjemahkan menjadi Nyoman. Kreativitas Komang Berata membuat sajak Chairil menjadi sangat terasa Bali. Bisa jadi, orang yang tidak membaca karya aslinya dan tidak mendapat informasi bahwa itu adalah karya terjemahan, akan menganggap karya terjemahan Komang Berata sebagai karya asli Bali!

Makanya, kalau mau, pembaca karya terjemahan, tak hanya terpaku memahami makna teks yang dihadapi tetapi juga mencermati makna “impor” yang dimasukkan dan makna “ekspor” yang dikeluarkan dalam proses terjemahan.

* I Nyoman Darma Putra

Bali Post, Minggu Pon, 12 Januari 2003

http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/1/12/ap3.html