Bali Post, Sabtu, 14 Juni 2008

I Nyoman Darma Putra

 
 

KONGRES Kebudayaan yang untuk pertama kalinya dilaksanakan 14 Juni ini boleh saja membahas berbagai masalah kebudayaan Bali, tetapi tidak sepantasnya mengabaikan nasib Art Centre. Dalam usianya yang lebih dari tiga dekade, pesona Art Centre tempat Pesta Kesenian Bali (PKB) digelar kini sangat pudar, bahkan tak ubahnya seperti situs purbakala.Dalam kondisinya yang rapuh, Art Centre merupakan paradoks bagi Bali yang kaya akan seni budaya tetapi tidak memiliki panggung kesenian yang membanggakan untuk mementaskan kesenian tersebut. Dilihat dari kategori budaya tentang street culture dan stage culture (Kadir H Din 1999), boleh dikatakan bahwa Bali kaya akan street culture, tetapi miskin akan stage culture.

Street culture artinya budaya yang bisa disaksikan di jalan, bukan di panggung. Inilah seni budaya yang hidup di masyarakat, yang dilakoni masyarakat sebagai bagian dari adat. Contohnya melasti, ogoh-ogoh, ngelawang, dan aneka prosesi adat lainnya. Pengunjung yang datang ke Pulau Dewata dengan mudah bisa memergoki pawai atau prosesi seni alias street culture saat mereka melenggang di jalan-jalan di kota atau di desa.

Stage culture adalah budaya yang dipentaskan di panggung. Kalau dalam street culture tidak diperlukan panggung, dalam stage culture panggung atau gedung pertunjukan harus ada.

Dulu ada beberapa panggung seni pertunjukan Bali yang khas dan relatif bermutu seperti di Batubulan, Singapadu, Art Centre Denpasar untuk pementasan tari kecak dan barong. Selain wisatawan, tamu negara pun dengan bangga diundang untuk menonton pementasan ke panggung-panggung tersebut.

Kini panggung tersebut memang masih ada, tetapi redup karena tidak ada turis atau karena tidak dikelola dengan profesional. Sementara itu, cultural park Garuda Wisnu Kencana yang dibangun sejak lebih 10 tahun lalu, tak kunjung usai akibat kesulitan keuangan dan konflik internal pengelola/pemiliknya.

Kecuali panggung hiburan yang dikelola hotel dan swasta, atau puri seperti di Ubud, Bali nyaris tidak mempunyai panggung pementasan permanen yang membanggakan. Kalau kita atau turis ingin menonton kesenian Bali, ke mana mencari?

Renovasi Art Centre

Merenovasi Art Centre adalah salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk memecahkan miskinnya Bali akan stage culture. Pada awal berdirinya lebih dari tiga dekade lalu, Art Centre bisa menjadi land mark budaya yang membanggakan. Panggung terbuka Ardha Chandra dengan latar belakang kuri menjulang masih tampak indah dalam foto-foto. Namun, seiring perjalanan waktu, kondisi Art Centre secara keseluruhan kian menyedihkan. Banyak gedungnya hancur, atapnya compang-camping, tembok kepeh-kepeh, candinya keropos-keropos, dan panggung-panggungnya berdebu atau lumutan.

Lihatlah, seperti apa tampak depan Art Centre sekarang? Melenggang ke Art Centre ibarat memasuki kompleks pasar burung. Tidak ada pesona yang mengagumkan pandangan pertama, tidak ada getar aura keindahan dari sebuah land mark kebudayaan. Yang muncul bukan decak kagum tetapi gelengan kepala: apa iya, ini pusat kesenian Bali?

Kita mungkin bangga akan minat seniman luar Bali dan mancanegara termasuk pemain gamelan dan penari Bali dari Jepang dan Amerika untuk tampil di Art Centre saat PKB, tetapi sudikah kita bertanya: apakah panggung tempat mereka pentas sudah memadai?

Atau, sudikah kita melihat seniman-seniman kita pentas di panggung tetaring (panggung beratap anyaman daun kelapa), yang kalau hujan pentas pasti bubar? Atau, tanyalah seniman kita yang pentas di luar negeri, mereka pasti terpesona melihat panggung tempat mereka tampil.

Maka, tidak ada pilihan lain bagi Bali untuk tidak merenovasi Art Centre. Dalam renovasi, panggung-panggung pementasan harus diperbaiki, gedung pertunjukan dipercanggih. Ksirarnawa perlu dipercanggih dengan tata lampu, tata panggung, dan tata suara yang bagus. Gedung-gedung pameran lainnya juga perlu direnovasi agar memadai dan aman sehingga lukisan berharga aman dipajang di dalamnya.

Dalam renovasi, Ardha Chandra tak hanya dibuat indah tetapi juga kokoh. Pakailah batu-batu dan materi bangunan yang kuat dan tangguh seperti kuil-kuil di Jepang yang elegan dan tegar menghadapi gempuran cuaca. Tinggalkan paras-paras yang mudah mengelupas, yang berbinar saat proyek usai tetapi setelah itu keropos.

Kalau tiga dekade lalu di bawah komando (Dirjen Kebudayaan yang kemudian menjadi Gubernur) Prof. Dr. Ida Bagus Mantra Bali bisa membangun Art Centre dengan panggung Ardha Chandra yang khas dan megah, sekarang tentu saja kemampuan itu bisa lebih hebat. Undagi, arsitek, dan konsultan asing bisa dilibatkan untuk menyusun rencana besar (master plan) merenovasi Art Centre.

Yang penting Art Centre harus bisa menjadi panggung budaya masa depan, bisa mencerminkan bahwa Bali tak hanya memiliki street culture yang unik tetapi juga stage culture yang mengagumkan.

Renovasi tentu harus diiringi dengan pengelolaan yang profesional. Pementasan dan pameran bisa dilaksanakan secara reguler sehingga merangsang kreativitas. Lalu, kalau ada tamu negara datang, mereka bisa diundang ke Art Centre, disuguhkan seni pertunjukan Bali yang berkualitas, pameran lukisan yang bermutu, sehingga mereka kagum akan kedahsyatan seni budaya Bali. Dengan demikian, citra seni budaya Bali yang dibangun sejak zaman penjajahan bisa direvitalisasi.

Kesulitan uang? Mungkin bukan di sana masalahnya. Membiayai PKB dengan milyaran rupiah setiap tahun saja bisa, mengapa merenovasi Art Centre tidak? Jika Art Centre dibiarkan hancur, lenyaplah salah satu sumber kebanggaan Bali akan seni budayanya. Sudikah peserta Kongres Kebudayaan mencegah hancurnya Art Centre?