Bali Post, Sabtu, 4 Januari 2003.

Oleh I Nyoman Darma Putra

Wisatawan Australia merupakan tulang punggung industri pariwisata Bali sejak tiga dekade terakhir. Dengan kunjungan rata-rata hampir 300 ribu per tahun, Australia benar-benar merupakan pasar utama pariwisata Bali. Akibat ledakan bom 12 Oktober yang menewaskan banyak warga Australia, kunjungan turis Negeri Kanguru dan wisatawan mancanegara lainnya menjadi seret dan membuat pariwisata Bali ”mati suri”.

Keinginan kalangan pemerintah dan swasta untuk menarik minat turis Australia berwisata ke Bali sudah muncul. Ini keinginan yang positif dan jika dilaksanakan merupakan langkah strategis untuk mebuat roda pariwisata Bali berputar kembali.

Selain karena potensi besar, langkah strategis ini memiliki nilai promosi. Artinya, jika turis Australia mau datang ke Bali lagi, kehadiran mereka otomatis akan mengirim pesan ke penjuru dunia, terutama Eropa dan Amerika, bahwa Bali sudah aman untuk berlibur. Dunia akan percaya karena Australia tentu paling tahu keadaan Bali dan Indonesia yang merupakan tetangga mereka.

Untuk kondisi saat ini, usaha merayu turis Australia agar sudi ke Bali dihadang berbagai kendala. Apa sajakah rintangan itu? Tertutupkah peluang sama sekali?

Beberapa Rintangan

Rintangan utama dalam menarik minat wisatawan Australia berlibur ke Bali mungkin salah satu atau gabungan dari faktor-faktor berikut. Pertama, penanganan kasus bom Bali masih dalam proses alias belum selesai. Walaupun sudah banyak tersangka pelaku ditahan, seperti tiga tersangka utamanya yaitu Imam Samudra, Mukhlas dan Amrozy, kenyataannya masih ada tersangka kunci yang belum ditangkap seperti Dulmatin dan Ali Imron.

Belakangan, Tim Investigasi Bom Bali mengumumkan lagi enam tersangka baru termasuk ahli pembuat bom asal Malaysia. Bertambahnya jumlah tersangka ini kian meyakinkan warga Australia dan warga dunia umumnya bahwa sel-sel teroris di Indonesia bukanlah jaringan yang kecil atau lokal, tetapi besar dan lintas negara. Jika mereka bebas dari kejaran polisi, potensi terjadinya serangan teroris masih ada. Sikap para tersangka peledakan bom Bali, seperti Amrozy yang cengar-cengir, juga menimbulkan kemarahan warga Australia.

Kedua, tersiarnya dugaan adanya unsur bom-bunuh diri dalam peledakan di Paddys’s Cafe. Berita yang masih bersifat dugaan ini sangat mencengangkan publik Australia. Modus bom bunuh diri selama ini banyak terjadi dalam konflik Palestina-Israel, dan tampaknya sulit dideteksi, buktinya kerap terjadi. Wajar saja calon wisatawan berpikir bahwa bom-bom bunuh diri yang menakutkan itu mungkin akan terjadi di masa datang di Indonesia, termasuk Bali.

Ketiga, pemerintah Australia masih menganggap Indonesia termasuk Bali belum aman dari serangan teroris. Sebetulnya beberapa pekan lalu, menyusul penangkapan dengan cepat tersangka peledakan bom Bali, pemerintah Australia sudah mencabut travel warning-nya ke Bali, namun akhir Desember lalu peringatan bepergian itu diberlakukan lagi. Warga Australia diperingatkan untuk tidak melakukan perjalanan tak penting ke Indonesia. Kalau mereka terpaksa atau telanjur ada di Indonesia, diperingatkan untuk berlaku hati-hati. Koran-koran di Australia menyiarkan bahwa akan ada serangan bom malam Natal di berbagai daerah di Indonesia termasuk Bali.

Peringatan ini tak hanya dimuat media massa Australia tetapi juga disebarkan lewat biro-biro perjalanan dan maskapai penerbangan. Untuk pertama kalinya pemerintah Australia menginstruksikan kalangan biro perjalanan dan penerbangan untuk menginformasikan travel warning ini kepada publik yang akan bepergian.

Walaupun kenyataannya tidak ada bom meletus pada malam Natal, peringatan tersebut jelas berdampak negatif terhadap usaha menarik turis Australia agar sudi berkunjung ke Indonesia, khususnya Bali.

Faktor terakhir, jika Irak benar-benar diserang oleh Amerika dan sekutunya (termasuk Australia), warga Australia akan takut bepergian karena perang akan menimbulkan sikap antipati, termasuk dari kalangan Islam Indonesia, terhadap orang-orang Barat. Ancaman sweeping terhadap orang Barat akan merebak dan itu dapat mengurungkan niat warga Australia menjadi turis ke Bali.

Beberapa Peluang

Banyaknya rintangan itu bukan berarti pemerintah dan pelaku pariwisata Bali mesti berpangku tangan. Masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan untuk membujuk warga Australia ke Bali.

Pertama, sikap simpati pemerintah dan warga Australia kepada Bali akibat ledakan bom merupakan peluang yang perlu digarap untuk menyelamatkan industri pariwisata Bali. Segera setelah ledakam bom di Kuta, banyak warga Australia yang cepat-cepat membayangkan bahwa serangan teroris akan menghacurkan perekonomian Bali yang bertumpu pada pariwisata.

Minggu pertama setelah ledakan misalnya, seorang ahli Indonesia dari University of Tasmania Prof. Dr. Barbara Hately, mengharapkan agar pengusaha Australia tidak menutup usahanya yang berkaitan dengan Bali dan meramaikan industri pariwisata adalah salah satu jalan yang tepat untuk membantu perekonomian masyarakat Bali.

Kedua, walaupun larangan bepergian ke Indonesia dan Bali diberlakukan lagi, itu tidak menutup pintu sepenuhnya bagi orang Australia untuk datang. Karakter orang Australia cukup khas, banyak di antara mereka yang sudah berulang-kali ke Bali merasa lebih tahu keadaan di Bali daripada pemerintahannya. Meski dilarang, jika mereka berniat pergi, mereka akan datang juga.

Mereka itu bisa digolongkan pasar yang resistant, artinya yang tahan akan guncangan isu. Mereka bisanya terdiri atas orang muda atau yang memiliki prinsip bahwa urung ke Bali berarti membuat teroris ”menang”. Pasar resistant tentu juga ada pada pasar pariwisata Bali lainnya seperti Jepang, Korea dan Taiwan. Pasar resistant inilah yang layak digarap agar mereka sudi ke Bali. Kalau mereka datang, dan ternyata mendapatkan pengalaman liburan yang memuaskan dan menemukan Bali yang aman, mereka akan menjadi sarana promosi Bali dari mulut ke mulut.

Untuk memanfaatkan peluang-peluang di atas, promosi besar-besaran ke Australia atau negara-negara lain belum saatnya juga dilakukan. Yang penting dilakukan saat ini adalah mengundang biro perjalanan asing dan travel writers untuk datang ke Bali. Mereka diharapkan bisa melakukan promosi yang positif di negeri masing-masing. Kalangan biro perjalanan bisa diajak untuk membuat paket berlibur atraktif alias murah ke Bali, seperti sudah dilaksanakan maskapai penerbangan Singaporean Airlines bekerja sama dengan hotel-hotel berbintang di Bali. Jika ada dana promosi, mungkin lebih baik digunakan untuk promosi seperti ini, daripada menyelenggarakan konser-konser yang tidak bergema ke dunia luar misalnya.

Promosi ke Australia

Lalu, kapan sebaiknya promosi besar-besaran atau road show dilaksanakan ke Australia? Waktu yang tepat untuk ini kemungkinan besar setelah proses peradilan kasus bom Bali rampung. Tim investigasi tampaknya bekerja keras agar sidang tersangka utama bisa digelar akhir Januari atau awal Februari 2003. Agaknya ini bukan pengadilan biasa yang boleh berlarut-larut.

Andaikan saja proses peradilan bisa dirampungkan Maret atau April, maka promosi bisa dilaksanakan setelah itu, tentu dengan catatan keputusan peradilan memuaskan publik Indonesia dan masyarakat internasional dan tidak ada bom lagi meledak di Bali. Apa yang sebaiknya dilakukan?

Selain melanjutkan kerja sama promosi dengan biro perjalanan Australia dan penulis pariwisata, mengirim tim kesenian Bali ke berbagai kota Australia mungkin salah satu bentuk promosi yang jitu. Pementasan ini dilakukan untuk menghibur dan menyatakan terima kasih Bali atas simpati warga Australia selama ini.

Pemda Badung yang selama ini mendapat banyak pendapatan dari turis Australia, karena banyak di antara mereka berlibur di Kuta, perlu mempertimbangkan untuk tampil sebagai pionir mengirim rombongan kesenian ke Negeri Kanguru. Di Australia, seperti di Sydney, Melbourne, dan Brisbane, ada kelompok warga Bali yang bisa diajak kerja sama untuk menyukseskan pementasan.

Jika Pemkab Badung berniat ke sana, kesempatan itu bisa digunakan untuk menjajaki kerja sama kota kembar, misalnya dengan pemerintahan Gold Coast di Queensland karena daerah ini memiliki kemiripan dengan daerah wisata pantai Kuta. Kerja sama antarpemerintah (government to government) ini akan dapat meningkatkan kedekatan hubungan antara masyarakat Bali dan Australia (people to people) yang sudah terjadi selama ini. Kerja sama seperti itu akan memberikan keuntungan jangka panjang untuk sektor pariwisata. Apalagi dalam semangat kerja sama itu bisa ditanamkan pesan agar bagi orang Australia, Bali adalah rumah keduanya.

Berlibur sudah menjadi bagian dan kebutuhan hidup masyarakat Australia. Bali telah menjadi play ground bagi turis Australia. Tanpa bermaksud mengumbar optimisme berlebihan, peluang Bali untuk menjaring wisatawan Australia tetap besar.

Sumber: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/4/op1.htm